Epilog buku “Papareghan, Pantun Madura Puisi Abadi”, editor M. Tauhed Supratman
Royyan Julian *)
Ada beragam cara yang digunakan oleh masyarakat tradisional dalam mendokumentasikan seluruh anasir kebudayaannya. Etnis Madura, misalnya, merekam elemen-eleman tersebut dalam profesi, praktik berkesenian, upacara keagamaan, dsb. Virtualisasi unsur-unsur kebuadayaan tersebut maujud dalam tambak garam, celurit, motif batik, kebiasaan merantau, tutur kata, andhep asor, dan bagaimana cara mereka berkomunikasi dengan yang transenden. Salah satu media yang digunakan orang Madura untuk menyimpan ide-ide kebudayaan mereka adalah pantun. Menurut Walter J. Ong, mencipta kesenian bertutur adalah usaha masyarakat lisan untuk memudahkan transmisi ajaran-ajaran kebijaksanaan kepada generasi selanjutnya, sebab nasihat-nasihat yang diartikulasikan dengan bahasa yang biasa-biasa saja akan mudah dilupakan.
Buku Pantun Madura Puisi Abadi yang dikoleksi oleh M. Tauhed Supratman adalah upaya merawat kearifan masyarakat Madura. Pantun-pantun tersebut merupakan representasi filsafat dan praktik hidup masyarakat Madura. Ia lahir dari rahim keseharian mereka. Membaca pantun-pantun dalam buku ini, kita dihadapkan pada sebuah simpulan bahwa nilai-nilai yang dikandung di dalamnya ternyata tidak khas masyarakat Madura. Nilai-nilai tersebut juga dimiliki oleh masyakarat di dunia pada umumnya. Pantun-pantun ini menjadi semacam miniatur nilai-nilai kemanusiaan. Dus, kebudayaan Madura adalah mikrokosmos dari peradaban manusia secara global.
Dalam sejumlah pantun cinta-kasih (se-kasean), kita akan menjumpai drama keterpisahan antarsepasang kekasih. Misalnya dilukiskan pada pantun
Sampèr sarong ka bâbâna, (Kain panjang, sarung ke bawahnya,)
Mon mènnya’ dhumpa kapèlar, (minyaknya tumpah ke tiang)
Pekkèr kerrong ka robâna, (pikiran kangen akan wajahnya,)
Mon ènga’ rassa ta’ kellar. (kalau ingat rasanya tak tahan.).
Drama keterpisahan tersebut tidak hanya dialami oleh masyarakat Madura, tetapi masyarakat dunia pada umumnya, pun sudah terjadi sejak dahulu kala. Dalam kosmogoni tradisi agama semitik yang dicatat dalam kitab Genesis, misalnya, dikisahkan tragedi keterpisahan manusia perdana. Secara implisit, kisah tersebut adalah eksplorasi bawah sadar akan tercerainya manusia dari keutuhan. Drama keterpisahan tersebut terus-menerus direproduksi oleh para pesastra dunia, misalnya kita temukan dalam Romeo and Juliet (Shakespeare), Laila Majnun (Nizami), Magdalena (Manfaluti), dll.
Psikoanalis Perancis, Jacques Lacan, dalam teorinya tentang hasrat, menyinggung bahwa keterpisahan adalah drama abadi yang dialami oleh manusia. Menurut Lacan, sejatinya hidup adalah ikhtiar manusia mencapai keutuhan. Dalam usaha tersebut, manusia merasakan kenikmatan sekaligus rasa sakit (jouissance). Oleh karena itu, tidak heran jika dalam pantun tersebut diekspresikan bahwa mon ènga’ rassa ta’ kellar.