Dalam konteks kemaduraan, drama keterpisahan tersebut bisa dikaitkan dengan situasi geokultural. Akar masalah itu mungkin kondisi alam Madura yang amat keras. Buasnya alam di Madura menyebabkan penduduknya harus merantau untuk mengejar kehidupan yang lebih baik. Maka di situlah pemantik keterpisahan itu berasal.
Sementara itu, nilai-nilai etis masyarakat Madura tercermin dalam pantun nasihat (bhabhurughan). Pantun-pantun tersebut menganjurkan anggota etnis untuk berlaku jujur, menjaga martabat orang lain, mengamalkan nilai kesetaraan, dsb. Tentu saja nilai-nilai tersebut adalah moral asasi yang dimiliki oleh manusia pada umumnya, bukan hanya masyarakat Madura.
Ajâm pandhâ’ èco-pecco, (Ayam kati dipatuk-patuk,)
Kabubur bâdhdhâi kèrèng, (ubur-ubur wadahnya kereng [tempat ikan]),
Mon ta’ endhâ’ èco-koco, (kalau tidak mau diejek,)
Jhâ’ lèbur co-ngoco orèng. (janganlah gemar mengejek orang).
Satu pesan yang disampaikan pantun di atas: jika kamu tidak mau disakiti, jangan menyakiti orang lain. Karen Armstrong menyebut preposisi tersebut sebagai Kaidah Emas yang dimiliki oleh semua agama di dunia. Di tengah jagat kaotik seperti saat ini, manusia perlu menerapkan sikap compassion dengan berempati kepada orang lain. Kehilangan bela rasa dalam jiwa manusia akan menyebabkan zaman kian tidak seimbang.
Dalam pandangan etnis Madura, welas asih diwujudkan dalam salah satu dari trilogi filsafat hidup mereka, yaitu menjaga martabat orang lain. Begitu pentingnya sebuah marwah sehingga orang Madura akan menjaganya meski taruhannya adalah nyawa. Di mana ada orang Madura, di situ seharusnya adalah harmoni. Maka sosok manusia Madura dimetaforakan seperti pohon beringin yang memberikan keteduhan, kedamaian, dan perlindungan bagi mereka yang lemah sebagaimana pepatah “rampa’ naong beringin korong”.
Terbitnya buku ini menjadi momen penting, terutama bagi generasi muda Madura. Melalui pantun-pantun tersebut, mereka menjadi ahli waris nampan peradaban yang mungkin akan punah jika tidak segera dikonservasi. Elaborasi yang dilakukan oleh M. Tauhed Supratman ini merupakan bentuk penyelamatan terhadap warisan tersebut sehingga patut diapresiasi setinggi-tingginya. Akhirya, misi paling ultim dari hadirnya buku ini adalah memungut kembali sisa-sisa kesadaran kita tentang pentingnya menjadi manusia yang berkemanusiaan.
*) Dosen Prodi PBSI, FKIP, Universitas Madura