Munculnya Alienasi Baru
Mengutip dari pendapat Hannah Arend[1], fase terakhir akibat munculnya modernitas salah satunya akan berdampak pada tercerabutnya petani dari tanah mereka. Padahal dalam konteks masyarakat Kangean menjadi nelayan dan bertani merupakan salah satu bentuk mata pencaharian yang sangat potensial mengingat kekayaan laut serta kesuburan tanah yang dimilikinya. Dulunya mata pencaharian tersebut mampu mendominasi terhadap mata pencaharian yang lain tetapi secara perlahan-lahan pula mulai ditinggalkan masyarakat dengan alasan yang logis, lagi-lagi masalah biaya produksi (dana) dan keterbatasan sarana (alat produksi) yang tidak berimbang terhadap penghasilan, menjadi dalih bagi mereka untuk lebih senang menjadi kelas pekerja bergaji di tempat lain.
Hal di atas akibat dari kerasnya persaingan hidup dan kebutuhan ekonomi sehari-hari dan dengan pertimbangan akan kemajuan dan perkembangan yang lebih progresif dalam menyikapi persaingan modern, alasan ini semakin mengokohkan niat mereka untuk meniggalkan mata pencaharian semula (menjadi nelayan dan petani). Inilah yang dimaksud oleh Arendt dengan istilah alienasi (pengasingan diri, penyitaan), sebagai dampak buruk modernisme yang ujung-ujungya mengeleminasi budaya masyarakat mereka sendiri. Ironisnya, pemerintah daerah bersifat apatis dalam menyikapi fenomena di atas, hal ini bisa kita amati sampai saat ini, fenomena tersebut tidak mendapatkan sorotan bahkan tindakan penanganan guna mencari problem solving dari pemerintah daerah dan peran sebagai pemfilter budaya asing belum pula terlihat, sekalipun masyrakat secara pribadi yang lebih berhak dalam menentukan terhadap prilaku budaya mereka meskipun nantinya ada sanksi-sanksi secara khusus yang mengaturnya.
Akulturasi Budaya
Di akhir oret-oretan ini perlu dipahami bersama, bahwa disatu sisi kita tidak akan menafikan dari kemunculan sebuah moderenisme yang mampu menciptakan masyarakat yang lebih produktif dan inovatif dalam mencari sebuah identitas masing-masing. Tetapi, harapannya akan menjadi kebanggaan kita bersama bahwa, dalam proses interaksi budaya luhur kita dengan budaya luar tadi (modern), mampu menjelmakan budaya sintetik yang amat serasi, seperti halnya bisa kita pelajari dari akar sejarah terbentuknya masyarakat Kangean, yang merupakan hasil dari akulturasi budaya Jawa (rama), Madura (eppa’), Bugis (daeng), dan lain-lian, nyatanya mampu membentuk budaya dan tatanan masarakat lokal dengan nilai solidaritas yang tinggi dan demokratis.
Penggalian dan pemahaman akan kearifan budaya local di atas perlu kita warisi bersama sekalipun kita telah berada pada jaman moderen, tentunya dengan menanamkan dan mengusung sebuah idealisme yang tinggi dari penerus (Pemuda Kangean). Hal ini merupakan salah satu bentuk solusi alternatif yang perlu ditanamkan sejak dini. Dan harapannya kedepan Kangean yang beridentitas (dengan kekhasannya) semakin akan kita cintai dan miliki layaknya sebagai kepemilikan properti privat kita bersama.
dari kabarmadura07.blogspot.com