Dalam ketidak berdayaannya, ditambah tekanan-tekanan kehidupan yang makin keras, menyebabkan mendorong orang-orang Madura melakukan tindak kekerasan sebagai penyelesaian terhadap persoalan yang dihadapi. Dalam masa mi frekuensi carok ataupun pembunuhah menurut publikasi-publikasi Belanda amat tinggi.
Anggapan-anggapan mengenai kekerasan di pulau Madura banyak juga karena perjalanan sejarah masa lalu Madura. Pembentukan Korp Barisan (Tentara Kompeni/Belanda yang anggotanya orang-orang pribumi setempat) pada permulaan abad ke 19. Raja-raja Madura harus menyediakan orang-orang Madura untuk dijadikan tentara Kompeni/Belanda sebagai imbalan perlindungan Kompeni/Belanda pada Kerajaan-Kerajaan Madura (sejak pertengahan abad 18 Kerajaan-Kerajaan Madura ada di bawah kekuasaan Kompeni/Belanda).
Barisan ini dipakai oleh Kompeni/Belanda untuk mematahkan perlawanan-perlawanan yang terjadi di daerah-daerah kekuasan VOC (perlawanan di Sumatra, Jawa, Sulawesi, dan Aceh pada abad 19). Kepiawaian, kegagahan tentara Barisan Madura dalam pertempuran akan selalu mengingatkan orang Madura dengan kekerasan.
Orang-orang Jawa tidak akan mudah melupakan bagaimana tentara Madura di bawah pimpinan Pangeran Trunojoyo menaklukkan daerah kekuasaan Matararn di pesisir pantai Utara sampai merebut dan menjatuhkan kerajaan Mataram. Prajurit-prajurit Madura yang gagah perkasa, berani, serta tangkas menggunakan tombak pedang tetap meninggalkan ingatan akan kekerasan orang Madura. Dalam peristiwa ini dikenal istilah bajak Sampang.
Ketimpangan publikasi mengenai Madura sejak jaman. penjajahan sampai sekarang mengenai Madura ikut memberikan pandangan atau amatan yang tidak sepenuhnya benar. Publikasi dan tulisan mengenai Madura banyak yang terfokus pada unsur-unsur yang mengandung kekerasan dari pada menulis mengenai keunggulan-keunggulan Madura dalam seni tari, ukir, musik dan lain-lain.