Dan pemaparan diatas ada gambaran bahwa “kekerasan “ yang melekat pada orang Madura disebabkan sebagian besar peristiwa atau kejadian-kejadian di luar Madura dan situasi Madura yang kacau pada pemulaan aba ke 19 (terutama terjadi di Madura bagian barat).
OIeh sebab itu sebagian besar orang Madura akan menyangkal bahwa orang Madura identik dengan “kekerasan”, karena dalam budaya Madura “kekerasan” akan terjadi ketika kehormatannya terkoyak diakibatkan persoalannya yang amat prinsip, yang meliputi persoalan wanita, tanah, air, dan agama. Berbicara kekerasan salah satu kebiasaan Madura yang terkenal ialah Carok. Carok adalah salah satu bentuk kekerasan, tapi tidak semua kekerasan adalah Carok. Kekerasan yang dimaksud disini adalah perkelahian yang memakai senjata tajam. Pada masa lalu unsur-unsur satria, keberanian, serta sikap bertanggung jawab nampak dalam peristiwa Carok. Carok dahulunya adalah perkelahian satu lawan satu (duel). Sebelum melakukan, pelaku-pelaku carok mengadakan kesepakatan mengenai tempat dan waktu. Penyebab-penyebab carok umumnya persoalan-persoalan yang amat mendasar (mengoyak harga diri pelaku). Budaya Madura ini tidak jauh bedanya dengan adanya budaya “duel” di dunia Barat pada masa lalu (di Barat ada duel memakai anggar ataupun pistol).
Pelaku-pelaku/pemenang dalam duel tidak pernah dihukum (pada masa itu duel dianggap perbuatan yang penuh sifat kesatriaan). Dalam kitab Undang-Undang masa Kerajaan Majapahit (Kutara Manawa) juga diatur masalah duel, pemenangnya juga bebas dari tuntutan hukum. Dalam budaya Madura orang-orang yang menghabisi lawannya dalam carok tidak disamakan seperti pembunuh dalam hal perampokan, kekerasan dalam rumah tangga. Belakangan ini pengertian dan pemahaman carok mengalami distorsi. Sebagian orang Madura hanya melihat carok dan unsur kekerasannya tanpa mengetahui /mendalami latar belakang yang kenapa kebiasaan ini lahir. Muncul kemudian istilahi stilah carok massal, dll.
Mempertahankan kehormatan/menjaga harga diri dan martabat adalah nilai-nilai luhur budaya Madura yang harus dipertahankan sampai kapanpun. Yang menjadi persoalan sekarang adalah cara-cara / penyelesaian ketika kehormatan kita ternoda. Untuk itu perlu kita renungkan apakah penyelesaian dengan cara “Kekerasan” masih relevan untuk menjawab persoalan-persoalan tersebut. Padahal tindakan kekerasan/pembunuhan tidak disukaiIdilarang oleh ajaran agama (kecuali hal-hal yang tertentu yang berkaitan dengan mempertahankan eksistensi agama. Dewasa ini banyak/ada jalan yang lebih elegan seperti jalur hukum untuk menyelesaikan persoalan.