Topeng Dalang Madura, menjadi bagian penting bagi kehidupan pertunjukan kesenian masyarakat Madura, khususnya di wilayah Kabupaten Sumenep. Dan sampai saat ini organisasi kesenian rakyat masih tetap bertahan, dan kerap tampil di sejumlah wilayah, baik untuk bagian dari kepentingan hajatan, rokatan maupun pertujukan secara terbuka. Selain itu, Topeng Dalang Madura ini pernah menjajal tampil di manca negara seperti Perancis, Jepang dan lainnya.
Namun sebenarnya dari mana asal lahirnya pertunjukan topeng yang unik ini?. Lontar Madura sempat berbincang dengan Akhmad Darus, atau Pak Daruk, seorang dalang yang telah banyak berkiprah dan kerap mendapat penghargaan sebagai seniman tradisi yang kreatif dan produktif.
Menurutnya, dari bentuk dan karakter pada karakter tokoh topeng sendiri, tentu tidak lepas dari kesenian tradisi masyarakat Jawa, dan tentu hasil adopsi dari kesenian wayang yang telah berkembang sebelumnya di sebagian besar wilayah Pulau Jawa.
“Topeng Dalang Madura awalnya dari Jawa, kemudian datang ke wilayah Proppo, yakni wilayah Kabupaten Pamekasan yang berbatasan dengan Kabupaten Sumenep,” ungkap Akhmad Darus di kediamannya, Jl. Raya Rubaru Desa Banasare, Kec. Rubaru Kab. Sumenep
Darus menjelaskan, dulu, di Pamekasan ada sebuah keraton yang bernama Jhâng Beringin, yakni terletak di wilayah Kecamatan Proppo. Sedang Raja Jhâng Beringin kebetulan punya besan raja dari Pulau Jawa (disini tidak disebutkan nama kerajaannya)
Karena kedekatnnya dengan sang besan, raja Jhâng Beringin kemudian mendapat penghargaan atau hadiah dan diberi sebuah tokop, yakni penutup wajah yang kemudian dikenal dengan nama topeng. Setelah dibawa pulang ke Pamekasan, tokop itu dijadikan simbol kebersamaan dan persaudaraan antar keduanya. Di kediamnnya, tokop tersebut oleh Jhâng Beringin dijadikan tanda kebersamaann di lingkungannya, dan selanjutnya dari tokop itu pula menjadi media pertemuan antar warga, yang selanjutnya kemudian menjadi perkumpulan tokop.
“Jadi anggota perkumpulan tokop dulu disebut tuping. Ketika mereka berkumpul selalu menggunakan tokop dengan memainkan pertunjukan kesenian,” katanya.
Darus menyebut, saat itu dalam pergelarannya dalam bentuk drama atau tonil dengan mengambil cerita Mahabarata dan Ramayana. “Ya itu-itu saja cerita yang disajikan,”
“Nah, dalam perkumpulan tersebut, ada dua anggota yang kebetulan dari Sumenep, yakni Tearjâ Nimprang dan Agung Kertè. Keduanya yang kemudian menjadi embrio lahirnya Topeng Dalang di Sumenep.
Hal ini lantaran dalam perkembangannya perkumpulan Tuping, ternyata tidak bisa berlanjut lantaran beberapa sebab. Sedang Tearjâ Nimprang dan Agung Kertè pulang kampung dan terus mengembangkannya di kalangan masyarakat Sumenep, – yang kelak di kemudian hari dikenal dengan nama perkumpulan Topeng Dalang Madura -,
Lalu bagaimana dengan kesenian rakyat ini yang tersisa di Pamekasan?. Dari kelompok Tuping itu kemudian berkembang menjadi Topeng Getthak, yang kemudian menjadi seni tradisi rakyat Pamekasan yang digelar dalam bentuk gerak seni tari. Topeng getthak merupakan salah satu kesenian tari tradisional yang menjadi bagian dari pertunjukan ludruk sandur. Sandur merupakan jenis kesenian rakyat yang paling banyak digemari di Pamekasan
Selanjutnya topeng yang dibawa Tearjâ Ningrang dan Aghung Kertè dikembangkan dalam bentuk perkumpulan di Sumenep dan disajikan dalam cerita lainnya. Pada proses selanjutnya Agung Kertè dan beberapa anggota lainnya hijrah ke Situbondo dan di daerah ini ia membentuk kelompok baru. Kelompok topeng Agung Kertè di Situbondo tidak lagi disebut topeng sebagaimana di Sumenep, namun disebut Kertè, atau kesenian Kertè.
Sedang di Sumenep, menurut cerita Darus dilanjutkan oleh Tearjâ Nimprang, dengan membina kelompok di wilayah Pinggir Papas, yakni masuk wilayah Kecamatan Kalianget, Sumenep. Dari wilayah ini terdapat pertanian atau pegaraman yang umumnya masyarakatnya sebagai petani garam,
Sangat membantu