Sjifa Amori
Keseniannya terpelihara kalau ada pengakuan. Tapi yang utama adalah eksistensi daerah terlebih dulu. Karena perjalanan sejarah yang panjang, Madura sudah terlanjur tidak dilihat sebagai entitas yang berdiri sendiri. Dilihat hanya sebagai distrik kecil dari suatu daerah di Jawa yang jadi pusat pemerintahan. Padahal, seperti yang dikemukakan sastrawan Jamal D Rahman, Madura adalah sebuah pulau sendiri yang memiliki selatnya sendiri, kebudayaan sendiri, bahasa sendiri, dan keseniannya sendiri.
Masyarakat Madura memang berkesenian lewat batik, yang digolongkan batik pesisiran, namun tak sepopuler batik Jawa. Mereka pun mengukir, meski tak menyamai gengsi ukiran Jawa.
“Pandangan umum seringkali memosisikan kebudayaan Madura sebagai catatan kaki kebudayaan Jawa. Karena begitu, hampir semua kebudayaan Madura tidak menonjol. Berbeda dengan Aceh atau Minang. Padahal batiknya ya batik sendiri yang berbeda dengan batik Jawa. Begitu juga ukirannya,” tukas Jamal.
Dengan karakteristik dan keadaan masyarakat yang berbeda, sebenarnya ada banyak hal berbeda dari yang ada di Jawa yang semestinya bisa disampaikan lewat karya seni Madura. Misalnya motif batik yang kebanyakan tentang kehidupan alam sekitar. Seperti binatang dan tumbuhan. Warna yang digunakan juga kebanyakan diambil dari pewarna alam, seperti dedaunan dan pohon-pohonan. Tidak ada warna gradasi atau lembut, semua jelas dan terang seperti kekayaan wana pada alam. Bentuk dan warna di batik dan ukiran, kabarnya adalah bentuk perlawan terhadap dominasi Raja Jawa atas Madura pada tahun 1600-an.
Penempatan kesenian Madura yang tidak menonjol ini akhirnya jadi semacam saringan tersendiri. Yang memudahkan jalan kesenian tertentu untuk lebih dikenal sanpai ke luar daerah. Apa lagi pemenangnya kalau bukan Kerapan Sapi. ”Ya karena dianggap bagian kecil dari Jawa itulah akhirnya yang menonjol akhirnya yang betul-betul tidak ada di Jawa,” kata Jamal yang merupakan penyair kelahiran Madura ini.