Kerapan sapi adalah kesenian tradisional khas Madura di mana pasangan sapi diadu kecepatannya. Menurut Situs Resmi Pemerintah Kabupaten Sumenep, dinyatakan bahwa kerapan sapi bermula dari cara membajak sawah dengan menggunakan sepasang bambu yang ditarik oleh dua ekor sapi. Kerapan Sapi lalu menjadi kegiatan rutin setiap tahunnya, khususnya ketika menjelang musim Panen habis. Kesenian ini menggunakan Kleles, yaitu alat yang dipakai untuk pasangan sapi yang dikerap agar keduanya dapat lari seirama, sedangkan pada bagian buritan adalah tempat duduk joki, yang akan mengendalikan arah dan larinya sapi. Ada lagi Tuk-tuk sebagai instrumen pengiring pada saat kerap sedang dibawa keliling maupun pada saat sedang berlangsung perlombaan kerapan.
”Saronen, musik yang mengiringi kerapan sapi juga tidak ada di Jawa. Musik itu sangat khas Madura dan hanya ada di Madura. Bahkan kerapan sapi dan saronen sudah jadi kesenian Madura sebelum zaman masuknya Islam,” kata Jamal yang kemudian menjelaskan alasan mengapa kebudayaan migrasi Madura tidak membawa kerapan sapi dan seronen ke luar wilayahnya.
”Karena Madura itu, bagaimanapun, masyarakatnya Islam. Boleh dibilang, hampir semua aspek kehidupan Madura bernuansa Islam. Dan dalam migrasi, tidak semua kesenian dibawa. Kesenian yang melekat pada mereka adalah yang bercorak Islam. Makanya tidak ada karapan sapi dan saronen pada masyarakat Madura migran. Kita bisa temui kesenian Islam, seperti shalawatan pada saat Mauludan, dalam komunitas Madura migran. Ini pun dilakukan sejauh mereka bisa membentuk komunitas.”