Sudah ada pesaing yang lebih diakui di Jawa, tak dibawa pula bermigrasi. Begitulah nasib kesenian yang hidup di Madura sejak pra-Islam. Antara lain pantun, mamaca, kol-okol (sastra), ludruk, tandha‘, ketoprak, topeng (teater), saronen, gamelan, okol (musik atau nyanyian), tayub, sandur (tari). Dalam makalah berjudul Islam, Madura, dan Kesenian: Pengalaman dan Kesan Pribadi yang disampaikan Jamal dalam Kongres Kebudayaan Madura di Sumenep, 9-11 Maret 2007, kesenian di atas disebut kesenian yang diperkaya dengan pengaruh kesenian Jawa dan relatif steril dari pengaruh Islam.
Akibatnya, kesenian dan kebudayaan itu, masih menurut Jamal, secara umum nyaris hidup tanpa dukungan yang memadai.
Seperti juga yang disampaikan Zawawi Imron, bahwa di masa lampau, sastra lisan Madura banyak diminati masyarakat. Bentuk sastra lisan itu, antara lain, dungngeng, lok-alok, syi’ir, tembang, puisi mainan anak-anak. Meskipun ada pendapat modern yang menyatakan bahwa sastra tidak harus menjadi cermin masyarakat, namun sastra Madura justru menjadi cermin dari kesanggupan menghadapi kehidupan; alam yang keras dan berbatu cadas dan lautan yang garang, di samping sikap terhadap Tuhan yang menciptakan alam semesta. Meskipun demikian dewasa ini sedikit, bahkan dapat dikatakan tidak ada, yang berminat menulis sastra dalam bahasa Madura. Bahkan tokoh-tokoh sastrawn Madura, seperti Abdul Hadi WM, Moh. Fudoli, dan lain-lain lebih suka menulis dalam bahasa Indonesia.
Menanggapi hal ini, Jamal berkomentar, “Sastra dalam bahasa Madura berkembang sebagai sastra lisan karena di Madura sendiri tidak ada apresiasi apa pun terhadap tradisi tulis bahasa Madura. Jadi tidak ada penerbitan buku. Berbeda dengan Jawa dan Sunda. Tapi saya kira itu tidak khas Madura saja. Sama halnya dengan Minang dan Aceh.”