Meski begitu, Madura punya akar sastra dalam bidang puisi bebas dan puisi liris yang sangat maju jika diukur dengan perkembangan sastra Indonesia. Demi memelihara potensi bernilai ini dari kepunahan, perlu semacam strategi kebudayaan mempromosikan kebuayaan dan kesenian Madura oleh masyarakat dan terutama oleh pemerintah. “Karena yang dipromosikan tentang Madura kan kekerasaannya saja, celuritnya terus. Sementara kebudayaan lainnya tidak dipromosikan. Apalagi sastranya. Kongresnya saja baru ada tahun lalu diadakan,” tambah sastrawan yang kini bergiat di majalah Horison dan membentuk sanggar-sanggar sastra di sekolah.
Tapi, penulis buku kumpulan puisi Reruntuhan Cahaya ini berpandangan bahwa kesenian Madura relatif berkembang. Misalnya uldaul yang menggunakan perkusi. Yaitu kesenian tradisional yang mengambarkan keseharian wanita Madura dimana salah satunya mengambil air untuk kebutuhan sehari-hari. Layaknya kebudayaan tradisional, termasuk Madura, peran wanita sangat besar. Wanita bekerja ke sawah, berdagang ke pasar. Tak heran dalam kesenian, wanita juga bermain tandha‘ dan samroh, seperti rebana di Jawa tapi dengan corak berbeda.
Esai Budaya, Jurnal Nasional Jakarta | Minggu, 13 Jan 2008