Naik haji di masa lalu sangat sulit. Selain keterbatasan finansial karena harus membeli tiket pergi pulang (retourbiljetten) yang mahal, transportasi juga menjadi problem sendiri. Para zaman sebelum tahun 1922, embarkasi haji (Pelgrimshaven) hanya terdapat di Batavia dan Padang.
Dapat dibayangkan, bahwa para jamaah haji Madura saat itu harus pergi terlebih dulu ke Batavia baru kemudian naik kapal laut menuju Jeddah. Apalagi, biaya haji saat itu sangatlah mahal yang berkisar antara 570 sampai 856 gulden pada awal abad 20. Sulitnya transportasi di masa lalu itu, juga menyebabkan para haji biasanya berperan ganda.
Selain beribadah, tak jarang para haji juga menuntut ilmu di Tanah Suci guna menunggu kapal pengangkut yang akan datang kemudian. Para calon haji biasanya datang pada bulan puasa agar bisa berpuasa di Haramain.
Selama di kota suci ini, mereka berbaur dengan sesama jamaah haji Nusantara dan dunia serta mendalami ilmu agama dan tarekat dari para ulama nusantara yang ada. Ibadah haji telah membentuk semacam jaringan mukimin Jawi (sebutan bangsa Arab terhadap orang Nusantara). Salah satu dari sub jaringan itu adalah Jaringan Al Manduri, yaitu para mukimin dan ulama keturunan Madura di kota Makkah dan Madinah.
Aboe Bakar Djajadiningrat, drogman konsulat Belanda di Jeddah menyebutkan bahwa pemukim Madura pada tahun 1913 saja telah mencapai 140 orang. Mereka tersebar di berbagai pusat studi Islam yang ada di Haramain. Beberapa diantaranya merupakan ulama yang telah lama bermukim di Makkah serta memiliki sejumlah murid.
Laporan asisten mufti Makkah Sayyid Abdallah Zawawi menyebut dua ulama Madura yang mengajar di Makkah yaitu Syekh Ismail Madura dan Syekh Abd Azim dengan lama mukim puluhan tahun (Putuhena:2007). Terdapat pula tokoh tarekat Qadiriyah Wa Naqshabandiyah Madura, Kiai Ahmad Hasbullah Bin Muhammad (M.V. Bruinessen: 1994) Jaringan Al Manduri ini begitu menggairahkan tidak saja karena melahirkan ulama-ulama besar di Madura tapi juga berperan sinergis dalam penyebaran keilmuan dunia.
Kiai Kholil Bangkalan, Syekh Akram Al Manduri, serta sejumlah ulama pesantren besar di Madura merupakan produk signifikan interaksi ibadah haji dengan proses menuntut ilmu. Mereka juga menyebarkan kitab-kitab karya Syekh Nawawi Al Bantani, Syekh Mahfuz Al Termasi, Syekh Yusuf Al Maqassari, Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi serta para mursyid tarekat.