Menggali Puing-puing Sastra Madura yang Tersisa

Puisi anak-anak.

Puisi anak-anak (mainan anak-anak – folklore – ) umumnya dalam bentuk lagu atau nyanyian. Syair-syairnya kadang sulit dimengerti, karena sebagaimana puisi Madura lama lazimnya, unsur bunyi lebih kuat tekanannya. Karena kekuatan bunyi itulah, kerap anak-anak kurang memahami maknanya. Karena puisi dicipta sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya, maka puisi-puisi yang ditulis, juga mempunyai kepentingan yang berbeda.

Dimensi pembinaan dan pendidikan tampaknya menjadi syarat dalam puisi lisan Madura, sebagaimana contoh dalam lirik seperti dibawah ini:

Pak-kopak eling
Elingnga sakoranji
Eppak olle papareng
Ana’ tambang tao ngaji
Ngaji babana cabbi
Ka’angka’na sarabi potthon
Ecocco’ dhandhang pote, keba mole
Ecocco’ dhangdhang celleng, keba melleng
Cong-kong konce
Koncena lo-olowan
Sabanyon saketheng
Na’kana’ markong-markong
Baba’anna kapong-kapong
Ngek-serngegan, rot sorodan
Pangantan tao abajang
Abajanga keta’ kedung
Ondurragi jung baba’an.
 
Di’dindi’kapas
Kapassa lema-lema
Lemanto
Sapa nyamana manto
Mantogi
Sapa nyamana togi
Togilar
Sapa nyamana gilar
Larbais
Sapa nyamana bais
Baisto
Sapa nyamana isto
Istopa’ balang kette’ tetteng
Pak-rampak kokkonengan
Nemmo sello’ elang pole
Katopa’ tojuk nengkong
Abali pole manjeng
Dhi-padhi cemplok, lo’ling
Entara kana’ supang, nyang sayang
Ambu’ ambang atutup pindhang, alalap kacang nyang pettis
Tis kontrolir, bu’ ayu
Dhadah’aran kundang kali Mansur, jaran garejjeggan jaran
Gareneggan, no’-lenno’ nyodhu tajin

Ba-baba bulan bulanna sapa
Bulanna ………
Agaleppa’ agalebber, noro’ ompossa penang
Buru dha’emma’anna
Buru ka gerrungnganna
Di’dindi’ liya leyo
Pocedda koddhu’
Na’kana’ alekaya
Gi’ bellun toddu
Teng-jeliteng
Ma’ towana soro dhateng
Dhatengnga laggu’ malem
Dika pagar bato
Bula pagar carang
Dika ana’na rato
Bula ana’na pangeran
Assem bang-labang
Manja’ etem neng salokke’
Mesem paraban
Kare mesem ekekke’ pate’
Geddhang karepe’
Orang ngandung takepe’
Takepe’ babana lombung
Kothak-kathek ondur dhateng.
 
(catatan R. Wongsoprayitno)

 Dhe’ Nong Dhe’ Ne’ Nang
Nangnganang nganang nong dhe’
Nong dhe’ ne’ nang jaga jaggur
La sa sayumla haeto lella/
Ya amrasul kalemas topa’
Haena haedheng haena dhangkong
Pangantanna din ba’aju din tamengkong
(dst/lihat: Tan-Mantanan, Tradisi Permainan Anak Madura )

Contoh-contoh penggalan puisi tersebut diatas, dalam sastra Madura, lebih dikenal sebagai jung-kejungan, yaitu puisi yang dilagukan dan mempunyai perbedaan dengan kejung (kidung) yang menjadi ciri umum, sebagaimana kidung dalam gending-gending Jawa dan Madura.

Puisi Ritual
Puisi-puisi ritual mempunyai nilai sakral, karena didalamnya terdapat unsur-unsur permohonan kepada Yang Maha Kuasa. Puisi ritual digunakan untuk kepentingan-kepentingan masyarakat secara umum, semisal permohonan minta hujan, tolak balak, Selamatan laut, panen dan kepentingan lainnya. Puisi-puisi jenis ini mempunyai sugesti kuat karena didasarkan keyakinan masyarakat, khususnya masyarakat Madura tradisional di pedesaan atau di pesisir. Puisi ini dilakukan sebagai pokok upacara adat, seperti pantil, cahhe’, ratep dan pojian.

Sebagaimana puisi-puisi Madura lama umumnya, unsur bunyi tampak lebih mendominasi daripada kata itu sendiri, sehingga sulit memaknai kata-katanya. Dalam proses ritualnya si pelaku atau jamaahnya diajak lebih khusuk bahkan trance. Semisal dalam pojian dikenal syair

dari dhilang sonar sondhing adhung ana’ etemanga
(Sodhir Sonar)

leya rentang sandhurandhing dhing dhing dhing
adhu rentang sandurandheng

(Lentang Sandhurandhing)

Intensitas bunyi dari penggalan syair tersebut, mampu menggantikan alat musik lainnya, dan banyak pihak menyebutkan, contoh puisi diatas masuk bagian dari seni primitif yang berkembang sejak berabad sebelumnya. Namun tampaknya puisi-puisi ritual yang hidup di tengah masyarakat, lambat laun mengalami gesekan dan perubahan, ketika Islam mulai berkembang yang ditiupkan oleh pesantren. Untuk menangkal proses ritual yang berselebahan dengan norma-norma agama (Islam), maka mulai berkembang puisi-puisi dari pesantren yang ditulis dan disebarkan oleh kalangan kiyai yang kemudian dikenal dengan syi’ir-syi’irnya, yang banyak mengajarkan tentang baik buruk di mata Islam.

 Syi’ir
Sebagaimana diketahui, bahwa pulau Madura banyak terdapat pondok pesantren, dan tumbuh subur dari tahun ke tahun. Dalam kondisi seperti itu, pesantren tampaknya menjadi ladang berkembangnya kehidupan sastra. Banyak bermunculan kalangan sastrawan justru dari wilayah pesantren. Karena pesantren sebagai pusat pendidikan agama, maka sastra yang tumbuhpun mengarah pada bentuk sastra keagamaan.

Syi’ir merupakan sastra yang hidup dan berkembang dari pesantren yang tentu menjadi salah satu bentuk sastra/puisi Arab. Umumnya syi’ir ditulis oleh para santri jaman dahulu di luar waktu belajar, yang kemudian sering dijadikan salah satu bentuk pengantar dzikir saat menjelang waktu sholat Maghrib di surau, langgar atau musholla dan dilantunkan dengan suara merdu, yang kemudian merambah ke luar pesantren, dengan berbagai variasi irama atau lagu-lagunya.

Bentuk syi’ir tak beda dengan syair-syair Melayu lama sebagaimana contoh:

Astaughfirullah heran kaula
zaman samangken banynya’ se gila
banynya’ rosagan se bala-bala
jau kalaban zaman se bila
 
(Astaughfirullah heran saya
jaman sekarang banyak yang gila
banyak kerusakan antar keluarga
jauh dengan zaman yang dahulu)
ngimanagee dha’ naraka
neko enggun reng durhaka
labangnga petto’ banynya’na
kapantha petto’ barnana
egiring oreng se kafer
kalaban oreng se mongker
para’ ka pengggirra
nangis aeng mata dhara
malaekat laju ngoca’
ma’ ta’ nanges ka Allah lamba’
erantai tanang le’erra
acabbur ka tengnga’anna
kalabang olar ban kala
laju nyander ka reng sala
dhalem apoy reng-cerrengan/laban thowat long-tolongan
(percaya pada neraka
tempat orang yang durhaka
pintunya ada tujuh
dibagi tujug warna (macam) /
digiring orang yang kafir
bersama orang yang mungkir/hampir ke tepian
ia menangis aer mata darah
malaikat lalu beracap
mengapa sejak dulu tidak mengangis kepada Allah
tangan dan lehernya dirantai
lalu diceburkan ke tengahnya
kelabgang, ular dan kala
lalu mendatangi orang yang salah
dalam api menjerit-jerit/dan berteriak minta tolong)
neserra badan bila pon mate
coma e bungkus labun se pote
kalamon ta’ esaporana Guste
ta’ burung ancor tolang se pote
(kasihan bila diri telah mati
hanya dibungkus kain yang putih
apabila tidak mendapat ampunan Gusti
tentulah hacur belulang yang putih)
Ajja’ denggi sasamana
Makhluk Alla dha-padhana
Gutong rojung
Gampang olle
(Moh. Tayib)
(jangan dengki sesama
mahluk Allah sama saja
gotong royong
mudah didapat)

Bak-Tebbagan (teka teki): contoh:

– mon egagap badha, nangeng bila etole’e tadha’ (kopeng)
– ka bara’ calat, ka temor calat (calatthong
)
– ta’ tol jan bat (ata’na butol ojanna lebat)
– solorra ka taman, konco’na ka accem (ajam)

dan semacamnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.