Oleh : Mahwi Air Tawar
Madura yang terletak di sebelah kota Surabaya, dihuni oleh suku bangsa Madura. Dan sebagai suku, sebagaimana suku-suku lainnya di Indonesia, Madura mempunya bahasa daerah tersendiri, yakni Bahasa Madura
Sebagaimana halnya suku-suku lain pulalah, Madura juga mempunyai beraneka ragam kesenian, ludruk, topeng dhalang (wayang wong), tandak, musik ghul-ghul dan lain-lain. Sampai sekarang jenis kesenian tradisi di atas sudah tak banyak diminati masyarakat Madura. Kesenian ludruk, topeng dhalang dan tandak yang biasa ditanggap pada saat-saat ada helat desa, pesta perkawinan, petik laut (selamatan pantai) dan sebagainya. Sebagaimana kebanyakan masyarakat tradisi di daerah-daerah lain, ketika ada pertunjukan rakyat : ludruk dan topeng dhalang (wayang). Maka, dapat dipastikan lokasi pertunjukan akan dipadati oleh penduduk yang ingin menonton. Ah itu dulu. Namun kini ?
Ya, belakangan, jarang kita temui pertunjukan ludruk, topeng dhalang, terkecuali tandak yang masih menyisahkan banyak peminat, penonton, dan yang lebih ironis lagi, sebuah pergelaran tradisi yang kehadirannya dulu senantiasa membuat setip masyarakat menunggu diambang pintu, begitu mendengar dari jauh alunan gending, tetambang, sastra yang dikidungkan, tarian rakyatnya yang memukau. Aduhai, Huha…, ”bersihkan halaman rumah, sebentar lagi rombongan alalabang datang”. Begitu masyarakat menyambut, rombongan kesenian yang melibatkan beberapa unsur kesenian; topeng dhalang, macapat dan tandak.
Alalabang (Madura), artinya datang dari pintu ke pintu. Jenis kesenian yang menyajikan sastra lisan dari satu rumah ke rumah yang lain. Bentuk keseniannya bermacam-macam ada yang menyanyi tanpa iring-iringan musik, ada juga melantunkan syair-syair agama dengan pukulan 3 buah gendhang rebana, dan ada berupa rombongan anak-anak kecil, 2 anak di depan berpakaian pengantin sedang yang lainnya bertindak sebagai penyanyi cilik. Masing-masing wilayah mempunyai bentuk alalabang yang berbeda. Lebih-lebih rombongan alalabang, akan banyak menyedot penonton, ketika para rombongan itu membawakan sebuah kesenian Topeng Dhalang
Pada musim panen kesenian ini akan ramai mendapat undangan untuk unjuk kebolehannya, karena saat itu masyarakat pedesaan bersuka ria atas nikmat yang dikarunia Tuhan. Biasanya jauh sebelum kesenian alalabang ini didatangkan, masyarakat menyelenggarakan acara tasyakuran, dengan mendatangkan beberapa tokoh masyarakat dan agama, untuk turut berdoa serta bersyukur atas hasil penen yang melimpah, dan dalam hal ini mereka menyebutnya along-polong hingga beberapa hari berselang, didatangkanlah jenis kesenian alalabang.
Kini, seiring dengan perkembangan, kesenian ini sudah punah keberadaannya, akan tetapi bukan berarti helat pesta ditiadakan oleh masyarakat petani, nelayan. Tidak, mereka tetap menghelat acara serupa. Namun, bila dulu mereka menganggap kesenian tradisi, tapi sekarang mereka lebih suka menggelar acara kesenian yang lebih modern, yakni dangdutan! Tentu, dengan nuansa yang berbeda.Maka untuk melestarikannya perlu direvitalisasi. Dua tahun belakangan, sejak bulan desember 2006 hinga bulan juni 2007, beberapa seniman asal Sumenep, Madura, yaitu Agus Suharjoko, Ahmad Darus dan kelompok Lembaga Tanah Kapur Sumenep, menggelar pertunjukan alalabang di 5 kota, Surabaya, Yogyakarta, Jakarta, Malang dan terakhir di gedung Ratna Kanda, Taman Budaya Bali, yan berlangsung pada tanggal 17 Juni 2007.