Sebagaimana dikemukakan budayawan asala Madura, D. Zawawi Imron, ketika kesenian alalabang ini dipentaskan di TIM, 11/6. pada era globalisasi, adanya media elektronik, televisi, VCD dan lain-lain, serbuan kebudayaan asing menjadi sulit untuk dielakkan. Kebudayaan asing memang bukan musuh, tetapi mempertahankan budaya bangsa, sebagai identitas merupakan perjuangan, ungkap D. Zawawi Imron. Itu artinya kebudayaan dan kesenian yang sehat, ialah yang sanggup bersaing dalam era globalisasi. Untuk itu diperlukan upaya kreatif dalam menjawab tantangan, menghidupkan kembali seni tradisi yang berisi semangat baru, nafas baru, dan warna baru sehingga bisa bersaing dengan kesenian-kesenian yang ada di seluruh pelosok bumi.
Maka, dengan direvitalisasinya kesenian tradisi alalabang menjadi pertunjukan modern, adalah sebagai upaya agar masyarakat, lebih-lebih generasi sebagai penerus berminat tetap menjaga serta merawatnya, disamping agar kesenian tradisi tetap menjadi pertunjukan yang segar, tidak membosankan serta monoton. Meminjam ungkapan Slamet Subiyantoro: bukankah, seni tradisi pada dasarnya adalah seni yang tidak statis, karena keberadaannya secara faktual, dari generasi ke generasi selalu mengalami tahapan penyempurnaan yang mewakili zamannya. Penyempurnaan yang lebih adaptif dengan tuntutan masyarakat pendukung kesenian merupakan bagian penting dalam proses kemantapan seni tradisi itu sendiri. Sehingga, jenis kesenian tradisi akan terus diminati oleh generasi berikutnya, termasuk alalabang.
Majalah Kalimah, Edisi I Tahun I Juni 2008
Baca juga: Alalabang, Tradisi Lisan Ditengah Gempuran Kesenian Modern