Oleh: A’yat Khalili*
ngapote wa’ lajharra etangale
semajang tantona la padha mole
mon tangghu dari ambhat pajhalhenna
mase bannya’a ongghu leollena
du…mon ajheling, odi’na oreng majhangan
abhantal omba’ asapo’ angen salanjhangnga
reng majhang bhannya’ ongghu bhabhajhena
kabhilan alako bandha nyabhana
…
Ilustrasi Bangsa Pelaut
Penggalan nyanyian di atas merupakan lagu daerah untuk membaca sosio-kultural dan ciri khas Pulau Madura. Sebuah pulau di pojok timur laut Pulau Jawa, yang sepintas terhitung kecil-sempit dan hanya membentuk panjang seperti sebilah pedang yang menusuk ke arah antara timur dan barat, dengan dikelilingi pulau-pulau kecil di sekitarnya. Karena terletak dan berhadapan dengan laut, maka dominansi kegiatan penduduk lebih banyak tercantum pada kehidupan melaut atau usaha yang tak terpisahkan dengan laut.
Meski tidak dipungkiri, usaha kerajinan juga tersebar di berbagai pelosok sebagai budi daya dan alat penyambung jalan hidup di komunitas-komunitas kecil di kawasan pedalaman. Bahkan, corak alam yang strategis menyebabkan vegetasi lingkungan bisa diserap secara alami ke dalam bentuk kreativitas masyarakat yang memiliki tingkat kerajinan yang tinggi dan unik.
Ciri khas dan representasi tersebut menjadi semacam karakter hidup dan harga diri yang memiliki relevansi yang kuat satu sama lain. Dari perwatakan, sikap, perilaku seperti yang digambarkan dalam lagu daerah di atas misalnya, relativitas kehidupan sosial nelayan menjadi realitas yang sangat keras karena harus bertemu banyak mara bahaya di tengah laut, mereka harus rela diri mempertaruhkan jasad (abha’) dan nyawa (nyabha) demi hanya menyelarasi hidup dan menghidupi keluarga, anak-istri yang ditinggalkan di rumah.
Sehingga, mereka rela berkorban untuk menerima nasib yang tak pernah mereka ”akan” duga. Keputusan berat sebagai pelaut atau nelayan untuk mendapat tangkapan ikan yang banyak membuatnya lupa dan tinggal berhari-hari di atas perahu.
Mereka percaya mimpi dan impian bisa lahir dan ”sedang” menunggu di laut, sehingga benar ungkapan yang terkenal, bahwa ”orang Madura pantang menyerah, gigih bekerja, apa pun usahanya”.
Bahkan, tidak perlu sungkan dan malu untuk menjalani usaha atau pekerjaan asalkan dapat menyambung napas yang halal serta tidak bertentangan dengan hukum dan norma yang berlaku di masyarakat. Sejak sekitar 4000 tahun yang lalu, nenek moyang masyarakat ini bahkan memang sudah menyiratkan bahwa mereka hidup dengan mengarungi lautan yang terbuka, dan itu menjadi dugaan asal-usul landasan alamiah yang tak terbantahkan untuk menyebut pulau Madura sebagai ” Bangsa Pelaut”. Sehingga, tidak aneh kemudian jika mereka menjadi pelayar atau pelaut yang tangguh dan giat mencari ikan di laut.
Selain itu, corak abad awal tarikh masehi rupanya juga cukup berbekas di benak nelayan Madura. Perkenalan mereka sebagai pedagang ke pulau-pulau di nusantara atau ke mancanegara, telah mengibarkan adanya sumber daya manusia bermentalitas tinggi dan ulet untuk berniaga, meski hanya sebagai pedagang perantara.
Mereka juga banyak yang pergi merantau demi mencari alat untuk hidup, dan bekerja mencari uang untuk kebutuhan keluarga. Karena ketika itu, potensi sumber daya alam Madura masih belum terkonservasi dan senyap. Seiring proses berkembangnya peradaban yang lebih canggih, sedikit demi sedikit kepercayaan animisme masyarakat pun mulai luntur akan adanya konsep agama yang terstruktur dan pencaharian hidup tidak lagi bertitik tolak dengan konservatisme ajaran leluhur.