3. Perubahan Perilaku
Upaya membangun citra positif Madura melalui celurit ini perlu diikuti dengan perubahan perilaku dari sebagian “taretan dibhi’ ” (masyarakat Madura di manapun berada). Untuk itu perlu dilakukan studi, perilaku apa yang tidak disukai oleh orang lain, serta perilaku apa yang disukai. Perilaku yang tidak disukai kita kurangi atau dieliminasi, sedang yang disukai kita kembangkan dan dijadikan modal dalam membangun citra. Diantara sikap-sikap dan kebiasaan yang perlu ditinggalkan adalah kebiasaan nyekep.
Perubahan perilaku ini memang membutuhkan proses panjang, kesungguhan dan keserempakan (sinergi). Peningkatan pendidikan masyarakat adalah jawaban yang tepat untuk ini. Penanaman budi pekerti luhur sejak dini di kalangan anak-anak mutlak diperlukan. Juga perlu keteladanan dari para tokoh utamanya yaitu ulama dan para pemimpin formal.
Hal tersebut dapat dilihat seperti yang dilakukan dalam sebuah perguruan silat di Madura, yaitu perguruan pencak silat Joko Tole, dimana para muridnya juga diajarkan cara menggunakan clurit. Sebagai sebuah perguruan pencak silat yang cukup terkenal di Indonesia karena telah banyak mengorbitkan atlet pencak silat nasional berprestasi, perguruan Joko Tole selalu mengajarkan murid-muridnya untuk memiliki jiwa ksatria karena nama Joko Tole itu sendiri merupakan nama seorang ksatria dari daerah Sumenep.
Perguruan silat ini juga mengajarkan kepada muridnya bahwa penggunaan clurit tidak sekedar untuk melumpuhkan lawan. Untuk menggunakan senjata clurit setiap murid harus memiliki jiwa yang bersih dan berlandaskan agama. (Soedjatmoko dan Bambang Triono, 2005). Karena itulah celurit harus dipandang sebagai lambang ksatria, sehingga penggunaannya tidak dilakukan untuk menyabet orang sembarangan.