Semua itu, kata Latief, tidak lebih dari suatu gambaran stereotip belaka. Sebab, kenyataannya, salah satu karakteristik sosok Madura yang menonjol adalah karakter yang apa adanya. Artinya, sifat masyarakat etnik ini memang ekspresif, spontan, dan terbuka, tuturnya ketika menyampaikan makalah Lingkungan Sosial Budaya Madura dalam Seminar Prakarsa Masyarakat dalam Kerangka Pembangunan Daerah Madura di Universitas Bangkalan, beberapa waktu lalu.
Ekspresivitas, spontanitas, dan keterbukaan orang Madura, senantiasa termanifestasikan ketika harus merespon segala sesuatu yang dihadapi, khususnya terhadap perlakuan oranglain atas dirinya. Misalnya, jika perlakuan itu membuat hati senang, maka secara terus terang tanpa basa-basi, mereka akan mengungkapkan rasa terima kasihnya seketika itu juga. Tetapi sebaliknya, mereka akan spontan bereaksi keras bila perlakuan terhadap dirinya dianggap tidak adil dan menyakitkan hati.
Contohnya, suatu ketika di atas kapal feri penyeberangan dari Kamal ke Ujung, Perak, ada seorang Madura sedang merokok di dalam ruangan ber-AC. Oleh orang lain, ia ditegur. Apakah orang Madura yang ditegur itu berang? Ternyata tidak. Spontan ia mematikan rokoknya yang masih cukup panjang dan dengan keterbukaan ia pun mengaku tidak tahu kalau ada rambu dilarang merokok.
Nyo’on sapora, sengko’ ta’ tao. (Minta maaf, saya tidak tahu, Red), katanya dengan ekspresi yang lugu. Ada pula anekdot yang lucu dan lugu. Misalnya, ketika seorang abang becak asal Madura berurusan dengan polisi, ia dikatakan goblok karena melanggar aturan lalu lintas. Tetapi, petugas itu pun akhirnya tertawa karena mendapat jawaban si abang becak seperti ini. “Wah, Pak Polisi ini bagaimana, kalau saya pinter, ya ndak mbecak. Tak iya, …”