Tak Mau Dilecehkan dan Dipermalukan
Menurut Drs Fathur Rahman Saros SH, alumnus Unibang dan IAIN Surabaya yang skripsinya mengungkapkan soal carok, cara orang Madura merespon amarah biasanya berupa tindakan resistensi yang cenderung keras. Keputusan perlu tidaknya menggunakan kekerasan fisik dalam tindakan resistensi ini sangat tergantung pada tingkat pelecehan yang mereka rasakan.
Pada tingkat ekstrim, jika perlu mereka bersedia mengorbankan nyawa. Sikap dan perilaku ini tercermin dalam sebuah ungkapan: Ango’an Poteya Tolang, Etembhang Poteya Mata (artinya, kematian lebih dikehendaki daripada harus hidup dengan menanggung perasaan malu). Sebaliknya, jika harga diri orang Madura dihargai sebagaimana mestinya, sudah dapat dipastikan mereka akan menunjukkan sikap dan perilaku andhap asor.
Mereka akan amat ramah, sopan, hormat dan rendah hati. Bahkan, secara kualitatif tidak jarang justru bisa lebih daripada itu. Contohnya, ada ungkapan, oreng dadi taretan (artinya, orang lain yang tidak punya hubungan apa-apa akan diperlakukan layaknya saudara sendiri). Suatu sikap dan perilaku kultural yang selama ini kurang dipahami oleh orang luar.
Jadi, soal carok itu bukanlah suatu kebiasaan atau budaya struktural. Sebab,belum tentu seorang yang dulu jagoan dan dikenal suka carok, lalu turunannya otomatis juga carok. yang jelas, carok itu,menurut saya lebih didominasi pada masalah harga diri. Misalnya, menyangkut soal pagar ayu, ujar Fathur yang namanya di Bangkalan cukup dikenal dengan panggilan Jimhur ini.
Jimhur lebih rinci mengatakan, carok itu bisa terjadi kepada siapa saja. Artinya, meski carok itu bukanlah tradisi atau menganut garis turunan, tapi kalau menyangkut harga diri,martabat keluarga yang dilecehkan, maka carok bisa jadi cara terbaik untuk menyelesaikan.