Contohnya, ada satu keluarga yang tidak carok, namun suatu ketika kepala keluarga itu tewas gara-gara dicarok. Hampir bisadipastikan sang anak ketika kejadian masih kecil, pada saat dewasa akan melakukan perhitungan dengansi pembunuh orangtuanya.
Apa yang dilakukan si anak yang sudah dewasa itu bukanlah sikap balas dendam. Tetapi, merupakan pembelaan atas nama keluarga. Hal sepertiini bisa terjadi sampai mengakar. Karena itu, jangan heran, kalau mendengar cerita carok yang terjadi antar keluarga secara berkepanjangan, ujar Jimhur.
Hal seperti itu, lanjut Jimhur, pernah terjadi beberapa waktu lalu, yang sampai melibatkan antar keluarga dan kampung. Bahkan untuk mendamaikan, agar tak terjadi carokmassal, Pak Noer — H Mohammad Noer, mantan Gubernur Jatim yang juga sesepuh Madura — turun tangan langsung. Alhamdulillah,akhirnya terselesaikan, tutur tokoh muda yang tinggal di kawasan jalan HOS Cokroaminoto ini.
Jadi, masalah carok ini bukanlah kultur Madura. Carok, katadia lebih pas kalau dikatakan merupakan cerminan sikap pelakunya yang menjaga harga diri dan tak mau dilecehkan atau dipermalukan.
Berdasar catatan Jawa Pos, beberapa bulanterakhir ini di Sampang dan Bangkalan memang sering terjadi kasus pembunuhan. Ada Kades dibunuh warganya lantaran anaknya dikawinkan dengan pria lain, ada juga lantaran balas dendam, seperti pembunuhan terhadap Mat Sawi, 16 tahun, remaja asal Desa Serambeh, Kecamatan Proppo, Pamekasan.
Madholi nekat membunuh korban, karena Pak Sin, ayahnya, 20 tahun lalu, dibunuh H Wahab yang juga kakek Mat Sawi. Kasus pembunuhan seperti ini biasanya orang awam mengatakan korban mati dicarok. Padahal, menurut Drs Suroso dari LP3M (Lembaga Penelitian dan Pengembangan Madura), pengertian itu amat menyimpang dari arti dan makna carok.