Oleh: Moh. Mahfud MD
Pembangun an Jembatan Suramadu yang diresmikan pada 10 Juni 2009 lalu begitu banyak menyita perhatian masyarakat luas. Bukan saja karena jembatan itu tercatat sebagai jembatan terpanjang di Asia Tenggara, tetapi juga karena jembatan itu menjangkau Madura, pulau yang sebagian besar penduduknya masih menjalani pola hidup tradisional dengan budaya agamis yang sangat kental. Dengan dibangunnya akses Surabaya-Madura tentu kini banyak orang mulai menerka-nerka, perubahan macam apa kelak yang akan terjadi di Madura? Dapatkah kawasan ini mempertahankan semboyannya sebagai kawasan yang Madurawi, Islami, dan Indonesiawi, seperti yang didengungkan oleh ulama-ulama Basra?
Penduduk Madura selama ini dikenal sebagai masyarakat yang cukup kuat memegang tradisi. Hingga saat ini berbagai macam tradisi di bidang keagamaan, sosial, politik, dan ekonomi hidup dan berkembang secara dinamis di Pulau Madura. Bermacam tradisi tersebut diwarisi oleh masyarakat Madura dari nenek moyang mereka secara turun temurun sepanjang sejarah. Secara historis, tradisi masyarakat Madura sebenarnya tidak berbeda jauh dari tradisi masyarakat Jawa, yakni masih memiliki pertalian dengan nilai-nilai yang pernah dianut masyarakat pada masa kerajaan Hindu dan Islam. Sejarah mencatat bahwa Pulau Madura pernah berada di bawah pengaruh Kerajaan Kediri, Singasari, Majapahit, Demak, dan Mataram. Hanya saja, pada masyarakat Madura peralihan dari era Hindu ke era Islam lebih tegas dibanding pada umumnya masyarakat Jawa Pedalaman, sehingga nilai-nilai ajaran Islam tampak lebih kental mewarnai tradisi-tradisi yang hidup dan berkembang di Madura hingga saat ini.