Menilik bargaining position dari empat kabupaten di Madura, kita dapat memikirkan bagaimana hakikat perkembangan pulau Garam ini berlandaskan pada harapan masyarakat setempat. Bangkalan sebagai kabupaten yang berada di ujung barat Madura, masih memperlihatkan kepiluan. Digalakkannya pembangunan industri untuk mengimbangi perkembangan zaman yang terkooptasi dari pembangunan jembatan Suramadu, hanya menyisakan rasa perih di hati masyarakat. Kearifan lokal (local wisdom) pun mulai terhempaskan dan kurang diperhatikan. Bahkan, masyarakat mulai kehilangan tanah-tanahnya, sehingga keuletan mereka dalam bertani telah ditukar dengan lembaran uang yang tentu kurang melanggengkan kesejahteraan dalam waktu yang cukup memanjang.
Sampang pun tak kalah mengenaskan. Kabupaten yang katanya kaya dengan potensi lautnya, belum juga menjadikan masyarakatnya bangga dan sejahtera. Mereka masih terbelakang dalam bidang pendidikan. Perguruan Tinggi yang berada di dalamnya, masih mudah dihitung dengan jari—untuk tidak mengatakan mengenaskan. Potensi lautnya tidak pula digarap secara optimal. Belum ada ceritanya Sampang melakukan terobosan jitu untuk menjadi kabupaten swadaya garam, misalnya. Tapi saya berharap, pernyataan tersebut berpangkal dari minimnya wawasan saya mengenai perkembangan kabupaten Sampang. Sehingga, kenyataannya kini berbicara lain dari apa yang saya utarakan.
Begitu halnya dengan Pamekasan. Katanya kota pendidikan, tapi moralitas para pemudanya sudah berada di titik nadir, memilukan sekaligus memalukan. Media massa, tak lengkap tampaknya manakala tidak menyuguhkan tradisi seksualitas para pemuda Pamekasan yang menistakan kehebatan Pamekasan yang jarang absen berkompetisi di pentas nasional. Seksualitas yang mengarah pada pembinatangan telah menodai prestasi yang terbilang membanggakan itu. Sekalipun selama ini Pamekasan mengibarkan bendera prestasi saintis-nya, tidak menutup kemungkinan hal itu hanya akan menjadi sejarah berlalu yang membangun jarak dengan masa kekinian. Kendati begitu, kita tetap berharap agar para pemuda yang mudah terkubang dalam lautan seksualitas kuasa membangun benteng diri dengan menguatkan iman yang tak terpatahkan.
Bagaimana dengan Sumenep? Julukan Kota Pariwisata tampaknya belum pantas digenggamnya. Ini berkaitan dengan kepedulian para pemangku kebijakan yang masih setengah-setengah mengambil sikap untuk menangani objek wisata di Sumenep secara optimal. Masalah yang melekat pada beberapa objek wisata di Sumenep belum juga hilang. Bahkan, terkesan kian diperparah oleh pemerintah dan masyarakatnya sendiri. Kita dapat ambil contoh Pantai Lombang. Pantai yang dikenal dengan Surga Madura dengan kemilau pasir putih dan lambaian daun cemaranya itu, kini tidak lagi diurus dengan baik. Semenjak terjadi sengketa tanah antara masyarakat setempat dengan pemerintah Sumenep, objek wisata yang cukup fenomenal itu terkatung-katung dan tidak lagi memuaskan hasrat para pendatang.