Dalam Perspektif Agama dan Budaya lokal Madura
1. “Habitat”, dalam “Ensiklopedi Indonesia” disebutkan berasal dari bahasa latin habitare = tempat. Dalam ekologi berarti = tempat di mana satu organisme hidup. Contoh, misalnya: ikan sepat habitatnya di perairan rawa, ikan glodok di pantai berlumpur. Habitat itu erat sekali dengan kecocokan untuk hidup. Sedangkan alam semesta ini terdiri dari banyak habitat dari berbagai makhluk. Maka menjaga habitat adalah menjaga kehidupan.
2. Manusia sebagai “khalifah” atau aktor utama dari kehidupan di dunia ini punya tugas untuk merawat kehidupan. Merusak kehidupan, merusak habitat dan lingkungan bertentangan dengan akal sehat karena akan membawa bala bencana. Tuhan berfirman dalam Al-Qur’an: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut akibat dari (ulah) tangan manusia”. Tidak ada binatang yang membabat dan mebakar hutan, tidak ada ikan-ikan yang merusak terumbu karang. Yang membuat kerusakan adalah manusia.
3. Hidup membutuhkan kesadaran dan kearifan yang bertumpu pada akal sehat dan hati nurani. Kesadaran dan kearifan itulah yang kemudian bersinergi, lalu melahirkan tindakan-tindakan beradab dan berbudaya, sehingga terjadi harmoni antara kehidupan manusia dengan alam habitatnya. Lemahnya kesadaran budaya, membuat manusia bisa bertingkah yang merugikan dirinya, kemanusiaan dan lingkungan.
[junkie-alert style=”yellow”] 4. Kearifan budaya lokal di Madura yang memihak keragaman hayati, bisa dicermati dari mana-mana flora yang diabadikan menjadi nama tempat. Seperti, Katapang, Nyeorondung, Gajam, Tarebung, Camplong, Balingi, Nangger dan lain-lain. Pemberian nama-nama itu menunjukkan adanya penghargaan kepada tumbuh-tumbuhan dan kemakmuran. Lebih dari itu terdapat sejenis seloka “nanggala pangonong andhung kalandiyan, sagara sagunong duggung pamandiyan”. Seloka di atas merupakan adanya penghormatan kepada dunia romantik yang pastoral, yang menunjukkan bahwa orang Madura pada zaman dahulu sangat menghargai habitat. [/junkie-alert]