Oleh: Ikmawati al-Rahma*
Belakangan ini saya mempunyai kegemaran membaca buku-buku yang membicarakan kearifan budaya lokal yang ada di Madura. Paling sering literatur kemaduraan yang saya baca adalah beberapa koleksi majalah yang kebetulan ada rubrik yang memuat informasi tentang kebudayaan Madura. Entah itu koleksi milik sendiri atau milik teman yang saya pinjam. Oleh karenanya, saya juga ingin menulis satu dari sekian banyak kearifan budaya lokal yang ada di Madura, yaitu mengenai kebahasaan orang Madura.
Bahasa adalah sesuatu yang dijadikan sebagai alat untuk berkomunikasi dengan orang lain. Dalam ragamnya, bahasa dibagi ke dalam tiga macam. Yaitu bahasa tulis, bahasa isyarat, dan bahasa lisan. Bahasa yang sering digunakan dan mudah dipahami maksudnya oleh setiap orang adalah bahasa lisan. Dalam tulisan ini, saya khususkan pada bahasa lisan.
Indonesia adalah negara yang terdiri dari berbagai suku bangsa, dan setiap suku memiliki bahasa lokal yang berbeda. Termasuk di dalamnya Madura, ia juga memiliki budaya bahasa yang berbeda dari suku lain yang ada di Indonesia. Dalam penggunaan bahasa Madura, ada beberapa aturan yang perlu diperhatikan oleh penggunanya. Misalnya untuk menyebut orang kedua (kamu/Anda) bisa dibedakan dalam tingkatan berikut:
Ba’na: untuk menyebut orang kedua yang lebih muda atau orang yang setara dan sudah akrab. Bahasa level ini paling kasar.
Dika: sama dengan di atas hanya sebutan ini lebih halus.
Sampeyan: sebutan orang kedua yang halus. Biasanya sebutan ini digunakan kepada orang yang lebih tua.
Panjenengan/Ajunan: sebutan orang kedua yang paling halus. Ini digunakan kepada orang yang dituakan atau sesepuh, misalnya kiai, guru, atau tokoh masyarakat.[1]
Dalam praktiknya, belakangan ini penggunaan bahasa Madura mengalami pergeseran. Banyak orang Madura yang tidak bisa menggunakan bahasa halus Madura dengan baik dan benar. Penyebabnya adalah minimnya minat belajar orang Madura terhadap bahasa lokalnya. Dianggapnya bahasa Madura tidak penting untuk dipelajari. Padahal, dengan menggunakan bahasa halus Madura dapat membentuk karakter yang berbudi luhur.
Penyebab lainnya adalah minimnya pengetahuan dan kesadaran orang Madura terhadap kearifan yang terdapat dalam bahasa lokalnya. Di antaranya:
- Dapat mengontrol emosi seseorang. Yakni, dengan menggunakan bahasa Madura yang tepat dan tidak menyinggung serta melukai perasaan seseorang.
- Sebagai bentuk penghormatan kepada orang yang lebih tua atau kepada orang yang memiliki status sosial lebih tinggi, misalnya kiai, guru, tokoh masyarakat, dll.
- Menjaga sikap seorang anak kepada orang tuanya, untuk bersikap lebih sopan dan tidak membantah nasihat-nasihatnya.
- Menambah keharmonisan dalam kehidupan rumah tangga.
Dengan demikian, merawat dan melestarikan bahasa halus Madura adalah tanggung jawab semua lapisan masyarakat Madura. Setiap orang tua berkewajiban untuk mengajari dan membiasakan anak-anaknya menggunakan bahasa halus Madura dalam kehidupan sehari-hari. Demikian juga pengelola pendidikan, baik pengelola pendidikan formal ataupun nonformal harus mengambil peran di dalamnya, di samping memberi motivasi untuk semangat belajar menggali berbagai macam ilmu pengetahuan, juga harus memotivasi mereka untuk belajar bahasa daerah. Jika tidak, generasi muda lambat laun tidak akan mengenal kebudayaan bahasa halus Madura. Dengan catatan, merawat dan melestarikan bahasa halus Madura bukan berarti menutup diri untuk mempelajari bahasa asing. Mempelajari bahasa asing tetap menjadi keniscayaan bagi setiap orang, karena semakin banyak bahasa yang dikuasai, maka akan semakin luas pula wawasannaya, dan itu merupakan sesuatu yang sangat urgen untuk membangun kemajuan masyarakat Madura.
[1] A. Dardiri Zubairi, Rahasia Perempuan Madura, (Surabaya: Andhap Asor. 2013), hal, 116-117*Penulis Mahasiswa Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (Instika) Guluk-Guluk Bergabung dengan FLP Ranting PPA. Latee II.
dDisalin dari Jawqa Pos Radar Madura (http://radarmadura.co.id, 04/11/2013)