Bahasa Madura dan Perkembangannya
Ketika era Otonomi Daerah diluncurkan, seharusnya menjadi langkah awal penguatan bahasa, sastra dan budaya Madura, dalam upaya mengembalikan dan memperkuat kelestraian bahasa Madura sebagai suatu kebutuhan penting dalam membangun kembali pola hidup masyarakat yang semakin mendekati pola hidup pragmatis. Kecenbderungan ini makin dirasakan, bahwa sebenarnya keteguhan bahasa Madura, yang awalnya menjadi titik tolak nilai moral dalam prikehidupan bermasyarakat, namun kini mulai dirasakan perubahan-perubahan pola dalam perlakuan jaman.
Tingkat ekonomi masyarakat yang makin tinggi, juga sangat mungkin membentuk pola baru masyarakat Madura dari kehidupan “tradisional” menjadi pola “modern”. Sehingga pemaknaan modern sendiri kerap disalah artikan menjadi revolosi budaya, yang kini telah dirasakan akibatnya, minimal dalam gejala berbahasa. Desentralisasi Pembangunan Daerah yang seharusnya “mengembalikan daerah sebagai wilayah yang lebih “berbudaya”, yaitu bagaimana daerah mengkodisikan daerahnya sesuai dengan sifat-sifat daerahnya.
Dalam kondisi semacam ini, sebagaimana budaya Madura, bahasa Madura juga mulai terpinggirkan, yang berakibat masyarakat cenderung kurang minat dan kurang perhatian terhadap bahasa ibunya. Kalangan remaja perkotaan misalnya, telah demikian menafikan bahasa Madura sebagai bahasa komunikasi mereka, selain memang sedikit yang memahami struktur bahasa Madura, lebih-lebih persoalan penulisan ejaan yang kerap menurut mereka “membingungkan”, sehingga menjadikan kendala baik dalam mengterapan dalam dunia kepenulisan maupun dalam membaca teks bahasa Madura
Bahkan ada sementara pihak dikalangan remaja merasa lebih fresh dan enjoy ketika mereka menggunakan bahasa pergaulan sebagaina mereka dengar dan mereka tonton di media-media televisi. Bahasa prokem sangat kuat menggejala di kalangan remaja Madura. Dan masih ditambah lagi bahasa SMS, bahasa facebook dan fasisilitas sosial lainnya. Maka tak heran, bila kerap ditemui sebagian remaja Madura, lebih cepat beradaptasi diluar komunitasnya lain, karena dengan menggunakan bahasa pergaulan yang mereka anut akan lebih bergengsi dan friendly.
Selain itu bahasa Indonesia dan bahasa Asing semakin pesat dan menggejala di kalangan lembaga-lembaga pendidikan, karena ada anggapan bahwa bahasa Madura miskin kata. Bahasa Madura tidak dapat memberikan jawaban terhadap fenomena ilmu pengetahuan. Maka login bila bahasa Madura di tempatkan pada tingkat yang semakin rawan kemjuan maupun perkembangannya. Sementara layanan diberbagai sektor kehidupan dengan segala kompetisinya, tampaknya ikut mendorong bahasa Madura kesisi tepi, bila tidak bisa dikatakan adanya kecenderungan penenggelaman bahasa Madura.
Lalu apa yang diharapkan dari UUD 45, bab XV, pasal 36: “Di daerah-daerah yang mempunyai bahasa sendiri, yang dipelihara oleh rakyatnya dengan baik-balk (misalnya bahasa Jawa, Sunda, Madura, dan sebagainya) bahasa-bahasa itu akan dihormati dan dipelihara juga oleh negara. Bahasa-bahasa itu pun merupakan sebagian dari kebudayaan Indonesia yang hidup”.