Keluarga
Muhammad Saleh Werdisastro menikah dengan seorang gadis bernama R. Ayu Masturah, putri seorang opsir Kesultanan Sumenep bernama R. Setjodipoero. Pasangan muda ini ternyata mempunyai keinginan untuk memajukan bangsanya. R. Ayu Masturah yang hanya lulusan Sekolah Angka Dua mendapat bimbingan sendiri dari suaminya Muhammad Saleh Werdisastro sehingga mampu sejajar atau wanita lainnya dalam pergaulan antar istri pejabat atau petinggi lainnya.
Beliau juga aktif dalam kegiatan-kegiatan ibu-ibu yang tergabung dalam Aisyah. Dia dapat menjadi contoh ibu teladan yang dengan setia dan penuh pengorbanan mendampingi suaminya dalam perjuangan menegakkan Kemerdekaan Republik Indonesia. Dengan 5 anak yang masih belum dewasa dia rela menderita di Yogyakarta, ditinggal suami berjuang, bertempur sampai bergerilya melawan penjajah Belanda dari tahun 1945 sampai tahun 1950. Sebagai isteri seorang pejuang kemerdekaan, R. Ayu Masturah sering mendapat teror dan diancam akan dibunuh sekeluarga. Maka dari itu, berdasarkan pertimbangan bersama teman-teman Muhammadiyah, dia beserta keempat anaknya mengungsi ke kampung Kauman Yogyakarta yang mayoritas penduduknya warga Muhammadiyah dan pejuang-pejuang kemerdekaan.
Sedang anak sulungnya bernama Muhammad Mansyur yang waktu itu berusia 15 tahun, dijemput anak buah ayahnya untuk bergabung bergerilya melawan penjajah Belanda keluar kota Yogyakarta. Dibidang pendidikan R. Ayu Masturah berprinsip bahwa anak-anaknya tidak lepas dari pendidikan Muhammadiyah. Karena itu anak-anaknya, pendidikan dasarnya disekolahkan pada Sekolah Rakyat Muhammadiyah. R. Ayu Masturah juga menampung kemenakan-kemenakannya dan kemenakan suaminya bahkan beberapa cucu untuk disekolahkan samapai tamat SMA atau setingkat. Untuk itu dia tidak segan-segan mengorbankan harta benda atau barang berharganya demi tercapainya pendidikan tersebut diatas.