Pada 1931, di Sumenep hanya ada 1 sekolah Hollands Inlandse School (HIS) yang hanya boleh dimasuki anak-anak Belanda, ningrat atau priyayi serta anak-anak orang kaya. Melihat hal itu Muhammad Saleh Werdisastro tergerak hatinya untuk mendirikan sekolah semacam HIS yang dapat dimasuki anak-anak dari lapisan atas sampai lapisan bawah, dari yang kaya sampai yang paling miskin sekalipun, dengan menggunakan biaya sendiri.
Berbagai persiapan mulai dari pembelian sebidang tanah di Karembangan berserta dengan bangunan sekolahnya, sampai dengan menyiapkan guru-guru yang diperkirakan setara dengan guru-guru HIS. Guru-guru tersebut antara lain dikenal dengan nama Meneer Ahmad, Meneer Badroel, Meneer Perwira dan lain-lain.
Baca juga : Muhammad Saleh Werdisastro Menanamkan Rasa Kebangsaan
Setelah beberapa bulan persiapan, maka pada tanggal 31 Agustus 1931 diresmikan sekolah dengan nama Particulere Hollands Inlandse School (PHIS) Soemekar Pangabroe Sumenep dengan kepala sekolahnya Meneer Muhammad Saleh Werdisastro.
Sejak itu masyarakat Sumenep yang terdiri dari anak-anak orang kebanyakan, laki-laki maupun perempuan, kaya atau miskin dari semua lapisan masyarakat dapat diterima menjadi murid di sekolah tersebut.
Particulere Hollands Inlandse School (PHIS) Soemekar Pangabroe Sumenep yang berdiri taangal 31 Agustus 1931 ternyata mendapat sambutan di luar dugaan. Anak-anak dari berbagai golongan terutama dari golongan miskin dapat bersekolah setingkat dengan sekolah Belanda dimana kelas 3 mulai diberi pelajaran bahasa Belanda, selanjutnya pada kelas 6 dan kelas 7, guru-gurunya memberi pelajaran dengan bahasa pengantar Bahasa Belanda.
Rasa kebangsaan ditanamkan pada para murid terekspresikan dengan dilantunkannya lagu-lagu perjuangan setiap hari, terutama lagu Indonesia Raya. Akibatnya dalam suatu inspeksi Residen Madura ke PHIS, Muhammad Saleh Werdisastro mendapat teguran karena murid PHIS tidak dapat menyanyikan lagu Wilhelmus.
Baca juga : Muhammad Saleh Werdisastro Menanamkan Rasa Kebangsaan
Selama berdirinya PHIS, murid-murid laki-laki pada umumnya dapat menamatkan sekolahnya, namun lain halnya dengan murid-murid perempuan. Hampir semua murid perempuan sekolahnya berhenti di tengah jalan karena dikawinkan oleh orang tuanya.
Di sela-sela kesibukannya mengurus Sekolah PHIS Soemekar Pangabru Sumenep, Muhammad Saleh Werdisastro juga menjadi Ketua Hisbul Wathon (HW) Madura yaitu perkumpulan kepanduan atau pramuka yang bernaung di bawah Muhammadiyah. Dia juga masih bisa menyisihkan waktu untuk memperdalam agama Islam di pondok-pondok pesantren yang tersebar di pulau Madura.