Ketua Komite Nasional Indonesia Yogyakarta
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, Tentara PETA dibubarkan dan bekas perwira-perwiranya tampil ke depan memegang posisi penting dalam pemerintahan Republik Indonesia. Muhammad Saleh Werdisastro tak terkecuali.
Pada tanggal 1 September 1945 beliau diangkat menjadi Ketua Komite Nasional Indonesia (KNI) daerah Yogyakarta yang pertama. Kemudian pada tanggal 1 Juni 1946 dia juga diangkat sebagai anggota KNI Pusat.
KNI daerah dan KNI Pusat ini adalah cikal bakal yang di kemudian hari menjadi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI).
Pada bulan Oktober 1945, tentera Jepang di Yogyakarta belum juga mau menyerahkan senjatanya kepada Pemerintah RI. Dalam suasana genting dengan tentara Jepang, Muhammad Saleh Werdisastro ditunjuk sebagai Ketua Team Perundingan Perlucutan Senjata antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Tentara Jepang di Yogyakarta. Perundingan ini tidak membuahkan hasil yang memuaskan kedua belah pihak sehingga pecah insiden yang terkenal dengan Pertempuran Kotabaru di Yogyakarta.
Baca juga : Muhammad Saleh Werdisastro Menanamkan Rasa Kebangsaan
Muhammad Saleh Werdisastro yang juga menjadi ketua Laskar Rakyat, Ketua Barisan Banteng dan Ketua Hisbullah juga ikut memimpin barisan yang akhirnya menjadi anggota Dewan Penasehat Tentara Nasional Indonesia yang anggota-anggotanya terdiri dari kalangan militer, politikus, dan pemimpin agama. Dalam dewan itu ia duduk bersama-sama dengan tokoh agama Islam yang lain seperti Harsono Tjokroaminoto, Didi Kartasasmita. Ia pun ikut bahu membahu dengan pasukan yang lain dalam Pertempuran Ambarawa yang dipimpin oleh Jenderal Soedirman.
Pada waktu terjadi pemberontakan PKI Madiun yang terkenal dengan Affair Madiun tahun 1948, dia ikut membentuk Tentara Nasional Indonesia dan Polisi Negara Daerah Yogyakarta. Muhammad Saleh Werdisastro sebagai orang Muhammadiyah menginginkan orang-orang Muhammadiyah ikut berperan dalam tubuh TNI dan Polisi Negara.
Hal itu dilaksanakan dengan menyumbangkan 2 batalyon Barisan Hisbullah ke dalam TNI dan Polisi Negara Daerah Yogyakarta. Perjuangannya terus berlanjut sampai terjadi clash ke-2 tahun 1948 dimana Yogyakarta sebagai Ibu Kota Republik Indonesia waktu itu diserang dan diduduki Belanda yang menyerbu dengan menggunakan Tijger Brigade. Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir, Mr Muhammad Roem serta pemimpin-pemimpin lainnya ditangkap Belanda.