Pilih Bertahan di Pelosok Pulau Kangean sambil Bertani
Setelah puma tugas, kebanyakan pegawaInegeri sipil (PNS) memilih untuk hidup tenang menghabiskan sisa hidupnya bersama keluarga dengan lebih santai. Berbeda dengan MusahuR (75 Tahun), salah seorang pensiunan guru Sekolah Dasar yang bertugas di pelosok Pulau Kangean. Semenjak Dirinya pensiun tahun 1999 lalu, dia gemar menulis buku. Berikut kisahnya.
Guru Musahur, Nama Sudah Tidak Asing Bagi Masyarakat Kangean dan sekitarnya. Dia telah menuntaskan tugasnya sebagai Seorang pengajar pada 1999 lalu. Kini dirinya memilih untuk tetap tinggal di Dusun Kolla, Desa Sawah Sumur, Kecamatan Arjasa, dan beralih menjadi seorang petani.
Namun, semangat pengabdiannya pada dunia pendidikan ternyata tak pernah padam. Terbukti, di tengah-tengah kesibukannya sebagai buruh tani, justru dia mampu membagi waktunya menulis buku
Tidak tanggung-tanggung, sudah lima buku yang berhasil dia tulis jelang akhir usianya itu. Kelima buku tersebut ditulisnya berdasark an pengalaman hidup sebagai seorang guru.
Ada pula buku yang Mnceritakan kehidupannya selaMa ada di Pulau Kangean.
Kelima buku itu berjudul “Kabut di Kaki Gunung Pangelen”, “Kangean Selayang Pandang”, “Aku Datang untuk Pergi”, “Pandai Meniti Buih”, dan “Badai di Selat Pancor.”
Beberapa buku menggambarkan kehidupan masyarakat Kangean yang berasal dan multi-etnis dan suku. Musahur kupas tuntas sejarah Pulau Kangean dari waktu ke waktu.
Nilai-nilai kehiduan yang berkembang di masyarakat juga berhasil dia bukukan. Tidak ketinggalan kandungan sumberdaya alam yang melimpah ruah. “Buku- buku itu saya tulis sejak saya pensiun sebagal PNS. Sudah tiga belas tahun saya menulis. Sekalipun sibuk bertani, saya merasa penting untuk menulis semuanya agar bisa dijadikan sebagai rujukan bagi siapa pun,” ungkapnya.
Dia berharap dengan membaca buku-buku hasil karyanya, setiap orang akan mengetahui Pulau Kangean secara mendetail. Menurutnya, hal itu dilakukan sebagai bentuk keprihatinannya terhadap pulau yang telah lama dia tempati. “Pulau Kangean memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan daerah-daerah lain. Hal itu bisa dilihat dan berbagai aspek, terutama dan aspek budaya. Tentu sangat menarik jika dituangkan dalam bentuk tulisan,” sambung Musahur.
Selama 13 tahun, Musahur lehih sering menulis buku pada malam hari. Itu karena sejak pagi hingga siang hari dia habiskan di sawah untuk merawat tanaman padinya “Saya menulis buku dengan cara manual, yakni dengan tulis tangan. Maklum, di samping saya tidak punya komputer, juga saya tidak tahu cara mengoperasikannya,” akunya.
Musahur juga tidak ambil pusing ketika beberapa bukunya hilang tak kembali. Menurutnya, sempat beberapa orang yang meminjam bukunya menjanjikan akan membukukan hasil karyanya. “Sebenarnya, buku saya banyak yang pinjam, sebagian ada yang dikembalikan, sebagian lainnya juga tidak. Katanya mau diterbitkan, tapi sampai sekarang belum terbit. Pokoknya saya harus terus menulis dan menulis lagi,” pungkasnya. (/ale)
Mohammad David, Kangean
Dinukil dari Jawa Pos – Radar Madura – Edisi Selasa, 19 Februari 2013(hal. 29 dan 39)