Drs. Zoelkarnain Mistortoify, M.Hum *)
Membicarakan tentang musik Madura tidak akan pernah lepas dari hubungan aspek seni pertunjukan yang lain, seperti: sastra-puisi, tari, teater, dan seni beladiri. Demikian pula, tidak semua musik dengan mudah dikategorikan sebagai pertunjukan, sebab ada beberapa jenis kesenian (di dalamnya ada musik) yang bukan dalam kategori pertunjukan. Dalam pembahasan kali ini, penulis memfokuskan pada budaya musik Madura sub etnis timur (wilayah kebudayaan Sumenep). Sub etnis ini dinilai wilayah paling “kaya” kesenian dan dinamis perkembangannya di Pulau Madura. Hampir boleh dikata musik merupakan penopang wajib dari berbagai genre kesenian yang ada di Madura, khususnya Madura timur (Sumenep).
Kemeriahan Soundscape Musikal
Penyelenggaraan pesta, pertemuan sosial, perayaan atau kegiatan sosial biasanya diketahui atau diberitahukan kepada sebagian atau seluruh komunitas dalam bentuk bunyi biasa (misal: pengumuman) maupun bunyi yang tersusun, yaitu musik. Ketika terjadi gerhana, setiap rumah tangga bertingkah segaduh mungkin untuk membangunkan semua makhluk hidup baik manusia maupun binatang. Bunyi-bunyi semacam ini menjadi petunjuk atas keberadaan dan lokasi suatu acara yang berlangsung.
Kini, tiada perayaan penting yang dianggap penting diselenggarakan tanpa pengeras suara. Pengeras suara memperbesar bunyi sehingga terdengar jelas, dan dapat dianggap melipatgandakan gengsi. Acara pernikahan atau khitanan yang semula hanyalah dinikmati oleh tetangga dan undangan, sekarang telah menjadi peristiwa umum. Pengeras suara juga membesarkan peranan pertemuan biasa. Orang yang tidak diundang secara formal tetap ikut menikmati di luar pagar atau halaman. Pengeras suara meskipun statusnya pelengkap, tetapi harus ada. Maka, sejak alat tersebut populer penggunaannya di masyarakat, pengeras suara begitu menyesaki ruang bunyi Madura. Berbaurlah berbagai jenis musik, nyanyian, serta suara orang berceramah, membentuk kaleidoskop bunyi ala Madura yang tumpang tindih sehingga menjadi campuran bunyi yang aneh. Di masa musim kemarau – tepatnya musim panen dan “musim hajad”—merupakan titik jenuh bagi soundscape (suara lingkungan) di Madura timur yang biasanya berbarengan dengan musim panen tembakau.[1]
Hal yang cukup menggelikan ketika penggunaan kaset rekaman memasyarakat lewat pengeras suara, maka kaset-kaset yang diputar itu dijadikan sebagai tanda dalam menciptakan “acara pengantar” suatu acara tertentu yang sering kali tidak berkaitan dengan acara pokoknya. Misalnya, lagu keagamaan dijadikan pengantar acara mamaca (macapatan ala Madura); atau lagu yang dinyanyikan pesinden dijadikan selingan dalam acara pertunjukan seni bela diri. Oleh karena itu “acara pengantar” jangan dijadikan tolok ukur di dalam melihat hubungannya dengan “acara pokoknya”.
Bagi orang Madura, musik cenderung diperkenalkan dalam keadaan yang nyaring dan megah melalui presentasi pengeras suara. Namun kenyataan ini sering menjebak musik itu sendiri ke dalam penyampaian yang tidak sempurna kualitasnya, sebab terganggu oleh peralatan sound sistim yang seringkali kurang bermutu.