Seni Musik Tradisional Etnik Madura

Budaya Musik yang Kuat di Madura Timur

Ada beberapa aspek penting ketika kita “membaca” peta musik di Madura timur pada umumnya, yaitu: budaya tradisi – budaya agama – budaya popular. Penjabaran pemetaan musiknya menjadi: musik tradisi (yang menonjol sronenan, tongtong, seni resitasi mamaca, klenengan); musik yang dipengaruhi islam (yang menonjol hadrah, gambus, samroh); dan musik popular (yang menonjol adalah dangdut). Variabel terakhir tidak akan dibahas, sebab pengaruh budayanya terhitung baru. Berikut ini, penulis akan membahasnya secara garis besarnya saja dalam makalah yang terbatas ini.

Musik Tongtong Tradisi Lama Madura

Tongtong adalah alat musik yang sangat kuno. Jaap Kunst berpendapat bahwa sebagian besar tongtong (kentongan) yang terbuat dari bambu dan kayu berasal dari jaman pra-Hindu.[2] Selanjutnya, asal-usul istilah tongtong tidak digunakan lagi di Jawa, tetapi di Madura tetap ada bahkan penggunaannya menjurus permainan musikal. Hal ini sekurang-kurangnya telah terjadi pada jaman Hindu.[3]

Dalam interpretasi historis dari musik tongtong tersebut, Bouvier memaparkan bahwa tongtong dalam fungsinya yang paling kuno digunakan sebagai alat penanda bahaya tertentu, seperti: saat gerhana bulan (disebut: bulan gherring [sakit]) dimana setiap keluarga keluar pekarangan membuat suasana ramai, termasuk pepohonan dipukuli. Masa berikutnya, tongtong dikembangkan menjadi alat komunikasi dengan kode-kode pukulan tertentu. Selanjutnya, tongtong dijadikan sebagai alat musik dalam orkes arak-arakan, yang mereka sebut musik patrol atau patrol kaleleng.[4] Fungsinya selain hiburan, juga memiliki fungsi baru, yaitu membangunkan orang yang akan sahur puasa di bulan Ramadhan. Pada perkembangan terakhir, terjadi penambahan alat perkusi yang bersuara membrane dan suara gemerincing. Karakter tongtong sendiri mulai terpinggirkan dalam keseluruhan orkestrasi tersebut.

Selain berkembang sebagai orkes musik, pola-pola ritem tongtong sering dipakai dalam komposisi musik jenis lain. Misalnya, dalam pola tabuhan ritmik pada klenengan ataupun pada musik teater loddrok. Dalam bentuknya yang lebih spesifik, yaitu tongtong yang terbuat dari pangkal batang pohon siwalan (disebut dhungdhung), menjadi orkestra kentongan yang lumrah digunakan untuk mengiringi acara perlombaan merpati. Dalam ansambelisasi yang kecil, orkes kentongan ini dipakai dalam acara ritual meminta hujan dengan melakukan okol atau ojhung (pertarungan memakai rotan).

Sronenan yang Meriah

Sronenan merupakan sebutan untuk orkes musik karapan sapi yang mulai popular sejak tahun 1970-an itu. Kalau ditilik dari instrumennya yang terdiri dari alat berpencon keluarga gong, sesungguhnya alat musik tersebut terdapat pula tempat lain, bahkan lebih populer dan lebih tua. Kita dapat mencermati sejenis sronenan seperti di Jawa Barat (pada musik sisingaan), di Jawa Tengah (pada musik jaran kepang), di Jawa Timur (pada musik Reog), di Bali (pada musik Balaganjur). Pigeaud  mengingatkan  bahwa musik slompret (sejenis  korp musik  dalam  bentuk rombongan kecil, seperti: gamelan  saronèn atau kenong telo’) yang sering dilibatkan dalam pawai-pawai sebagai  musik “pengawal” pasukan, sudah cukup dikenal dan bukan khas Madura.[5] Pola musikal yang paling penting dari sronenan ini adalah struktur beat kolotomik yang saling berkelipatan diantara instrument yang dimainkan oleh masing-masing pemain. Istilah sronenan, sesungguhnya dicomot dari nama sebuah instrument yang diasosiasikan paling kuat atmosfir musikalnya, yaitu sejenis sarunai/surnei (Timur Tengah) atau selompret (Jawa) atau kategori jenis hobo (Eropa). Karakter suaranya sangat khas, yaitu nyaring, melengking, dan parau seperti suara burung merak.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.