Seni Musik Tradisional Etnik Madura

Di Madura memang mengenal pula perangkat instrumen feminin (tabuhan halus) untuk musik kamar, seperti: gender, gambang, siter dan suling (rebab tidak dipakai, perannya diganti gambang). Ada pula perangkat instrumen maskulin (tabuhan keras) yang berjumlah besar, seperti kendang, gong-kempul-kenong, bonang, simbal kecer. Transformasi yang berkembang di Sumenep bahwa penggunaan jenis bilah (demung) ditiadakan, hanya saron yang dipertahankan dan lebih banyak dimainkan secara variatif. Instrumen perangkat besar (termasuk instrument alusan) lebih banyak dipakai dalam musik kleningan (Jawa: klenengan) pada kesenian wayang topeng dan tayuban. Instrumen perangkat kecil (alusan) banyak digunakan dalam mengiringi tembang mamaca.

Peristilahan musik yang berkembang di Sumenep –juga merupakan bagian dari transformasi yang dimaksud—hampir berorientasi pada konsepsi musik Jawa. Contohnya, sistim nada slendro-pelog, penulisan notasi Jawa kepatihan, serta filosofi nama masing-masing nada (meskipun namanya berbeda), seperti:

Petthet raja tenggu’ lema’ bharang petthet kene’
1 2 3 5 6 1

Meskipun para niyaga gamelan Sumenep menilai kualitas gamelan Jawa adalah yang terbaik, tetapi dianggap tidak tahan terhadap variasi suhu kelembaman udara malam alias peka terhadap suhu. Oleh karena itu, mereka lebih memilih gamelan berbahan logam campuran yang lebih stabil stemnya terhadap suhu. Maklum, umumnya mereka pentas secara outdoor sepanjang malam dan berangin.

Terbang Hadrah

Musik paling popular di kalangan masyarakat “oreng alem” (istilah untuk mengidentifikasi orang yang taat beragama [Islam]) adalah terbang hadrah. Oreng alem yang dominan di Madura seakan memberi dukungan kuat terhadap eksistensi jenis musik ini. Awalnya, terbang hadrah menjadi symbol musik pesantren, kemudian berkembang menjadi musik milik komunitas yang jauh lebih luas. Bermunculan ratusan kelompok-kelompok hadrah yang selalu memenuhi event-event perayaan keagamaan, arisan desa maupun komunitas kecil sekalipun hingga event yang disponsori pemerintah (festival hadrah). Tingkat kompetisi yang sangat tinggi ini memang cenderung terjadi pengembangan yang luar biasa. Bahkan aspeknya hingga urusan panggung yang disetting seperti bangunan mesjid, disertai pemasangan lampu-lampu beraneka warna dan pelepasan lampion. Performa pementasan dibuat sedemikian megah dan gemerlap.

Hal yang biasa terjadi di banyak tempat, jenis musik ini sering ditarikan dalam atmosfir koreografi ruddhat ( baca: rodat). Dasar musikalnya tersusun dari kombinasi ritem lima instrument terbang yang sesungguhnya hanya terbagi dalam tiga seksi polar ritem, antara lain:

  • Korbhian, artinya: induk. Pola korbhian menjadi dasar pembentukan “kalimat ritme” yang biasanya dimainkan oleh terbang ukuran besar (dimainkan dengan dua pemain terbang).
  • Budu’an, artinya: anak. Pola ritemnya merupakan sisipan sederhana dari pola utamanya. Dimainkan oleh dua pemain terbang dengan warna suara lebih ringan.
  • Peca’an, artinya pemisah. Pola ritem inilah yang mampu menghidupkan kesatuan interlocking musik ini. Biasanya, tingkat kecermelangan variasi ritem dapat disoroti dari lini ini.

Musik terbang hadrah semakin bergairah ketika mereka mulai memasukkan instrumen jidor (bedug atau bass drum) yang sangat memprovokasi kesan ritem secara keseluruhan. Apalagi dalam sebuah pertunjukan, jidor tidak hanya ditabuh biasa, melainkan ditabuh dengan cara digendong sambil melakukan atraksi yang memukau menyatu dengan kelompok penari ruddhat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.