[junkie-alert style=”red”]
Mulai bulan pertama, upacara Nandhãi ditunjukkan dengan meletakkan Bigilan ^ yaitu buah nangka (dalam bahasa Jawa : beton) di atas sebuah Leper, tatakan cangkir. Bigilan yang diletakkan di atas leper itu jumlahnya selalu bertambah, sesuai dengan hitungan kandungan sang Ibu. Jadi untuk bulan pertama satu biji, bulan kedua, menjadi dua biji, sampai bulan ke sembilan seluruhnya berjumlah sembilan biji.[/junkie-alert]
Di meja terletak leper dengan tujuh biji Bigilan, yang menandakan bahwa kandungan Patonah, isteri Pak Marhamah sudah masuk bulan ke tujuh. Di atas meja tersebut, juga terdapat sebuah cawan yang berisi bunga Komkoman, yaitu bunga yang terdiri dari bermacam-macam jenis, direndam dalam air. Bunga Komkoman ini tidak lain bunga rampai yang direndam. Benda-benda itu dimaksudkan sebagai sajian.
Hari itu, Patonah menjadi pusat perhatian sanak saudaranya sekoren. Mereka yang hadir itu adalah saudara-saudara dekatnya yang datang dari desa sekitarnya. Karena kandungan Patonah sudah masuk bulan ketujuh, maka orang tuanya menyelenggarakan upacara Pelet kandhung atau Pelet Betteng. Arti dari nama upacara tersebut adalah pijat kandungan atau pijat perut.
Upacara pelet kandhung dimaksudkan agar si ibu yang mengandung selalu sehat, sedang bayi yang dikandungnya, sehat dan selamat sampai waktu dilahirkan.
Waktu Penyelenggaraan Upacara
Upacara itu dijatuhkan pada waktu malam hari, dan dilakukan sesudah sembahyang Isya’. Kebetulan malam itu adalah malam bulan purnama, saat yang baik ini memang dinanti oleh keluarga Pak Marhamah. Sebab menurut perhitungan hari, saat bulan purnama ini, dianggap waktu yang terbaik. Saat bulan purnama, adalah waktu suasana di desa terang, karena sinar bulan. Sedang saat berlangsungnya upacara dijatuhkan pada saat orang-orang baru lepas sembahyang Isya’. Keluarga Pak Marhamah, demikian juga tetangga dekatnya, memilih sesudah sembahyang Isya’ untuk mengadakan kenduri atau melangsungkan hajad selamatan, jika dilakukan pada malam hari. Waktu sesudah Isya’ dianggapnya tepat karena waktu itu cukup longgar,karena orang sudah lepas dari kewajiban salat, dalam siklus lima waktu. Tempat Penyelenggaraan Upacara.
Keluarga Pak Marhamah tinggal di rumah Pegun, rumah tradisional, dengan gaya arsitektur khas Madura. Rumah itu terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian muka, yang berfungsi sebagai pendopo, rumah induk, dan dapur. Di sebelah kanan rumah, terletak surau, dan beberapa bangunan lain di sekeliling tanean (halaman bersama).
Patonah dan suaminya, bertempat tinggal di salah satu kamar dalam rumah induk itu. Mereka masih menumpang pada rumah orang tuanya. Upacara pelet kandhungitu dilangsungkan di bilik Patonah.
Sudah sejak tiga hari, rumah Pak Marhamah kelihatan sibuk, karena adanya persiapan upacara tersebut. Bilik yang ditempati Patonah dan suaminya itu, sebenarnya bagian dari rumah induk yang dibuat sekatnya menjadi kamar. Oleh sebab itu dapur maupun kamar mandi masih menjadi satu dengan orang tuanya.
Penyelenggara Upacara
Upacara Pelet kandhung itu dilakukan oleh emba bine, atau juga disebut agung bine, atau emba nyae. Orang ini adalah nenek Patonah, yaitu ibu dari Pak Marhamah. Ia adalah termasuk orang tertua dalam keluarga Pak Marhamah, oleh karena itu, ia menjadi salah seorang yang berperan dalam upacara tersebut. Pelaksanaan upacaranya sendiri, dipimpin oleh dukun bayi.