Apabila larangan tersebut dilanggar, masyarakat percaya bahwa kandungannya akan mengalami cacat, kelak apabila lahir. Sanksi atas pelanggaran itu disebut Juba’, artinya tidak patut. Apabila sang suami melanggar bersanggama pada hari pantangan, dengan isterinya yang mengandung itu maka, masyarakat percaya akan menimbulkan musibah; baik bagi ibunya maupun bagi bayi yang dikandungnya. Malekko pasti akan membawa pengaruh kepada letak bayi, yang berakibat bagi si ibu yang mengandung. Demikian juga tidur di sembarang waktu, akan mendatangkan kebiasaan buruk.
Adapun larangan membunuh hewan, menurut anggapan masyarakat karena akan membekas kepada anaknya yang akan lahir. Seorang ayah yang berburu binatang, kelak anaknya kepalanya akan cacat, benjol, dsb. Dalam masyarakat Madura dikenal Tumut, artinya, apa yang dikerjakan oleh orang tuanya akan membekas pada anak yang dilahirkan.
Ada pantangan bagi seorang suami yang isterinya mengandung dilarang Aramba, artinya mencari makanan ternak. Larangan tersebut sebagai perlambang agar sang suami ketika isterinya mengandung jangan berhubungan kelamin dengan wanita lain. Seringkah wanita yang hamil harus mengendalikan diri untuk bergunjing yang disebut dengan San rasanan. Larangan lain adalah menyumpah, mencela, bertengkar dan carokong, yaitu hidup jorok.
Pantangan tersebut pada hakekatnya merupakan hal-hal yang harus dipatuhi oleh seorang perempuan hamil. Di samping pantangan yang berupa makanan, minuman, perbuatan, tindakan, terdapat juga anjuran bagi suami-isteri untuk diperbuat. Sejak kehamilan terjadi seorang wanita harus lebih tekun beribadat. Nyebbut, artinya memohon kepada Tuhan agar dihindarkan dari malapetaka, sambil mengelus atau mengusapkan tangan kanan ke perutnya.
Seorang wanita yang mengandung harus rajin Ajamo, yaitu minum obat tradisional (jamu), apelet, pijat badan. Bagi seorang perempuan yang hamil muda, harus minum dek cacing ngoda, yaitu jika kandungan berusia satu hingga empat bulan. Sedang kandungan yang sudah berumur antara lima sampai melahirkan, isteri harus rajin minum dek cacing towa. Cara untuk minum jamu menurut tradisi di Madura, ialah minum secara teratur setiap hari Senin dan Kamis, sambil menghadap kiblat (Ka’bah).
Tatkala minum itu gigi tidak boleh kelihatan, tangan kiri berada di atas buah-dada. Embu’na Patonah selalu menasehati, agar suka makan kelapa yang dimakan bulan, agar kelak paras anaknya cantik. Kelapa yang dimakan bulan adalah kelapa apabila dikupas, dagingnya tinggal separo, atau kurang. Suatu ketika pada waktu Patonah hamil 4 bulan, pernah jatuh terpeleset kulit pisang. Segera melihat hal itu suaminya menyepak pelan, perbuatan itu dilakukan karena adanya kepercayaan bahwa apabila tidak disepak, anaknya yang lahir rranti makanan seperti daging kambing, akan cacat tubuhnya, mungkin bengkok kaki atau tangan nya, perot, pincang dsb. Sekiranya waktu itu suaminya tidak ada maka laki-laki lain boleh melakukannya, bahkan sesama wanitapun dapat berbuat yang sama.
Apabila terjadi kelambatan untuk melahirkan, maka di- kalangan masyarakat Madura mengenal upacara, mempercepat kelahiran itu. Upacara itu berupa Arasol, dengan melakukan tindakan sebagai berikut : Seekor ayam putih, dimasukkan dalam pagar, kemudian seorang kerabat dekat si isteri, laki-laki berada di luar pagar, siap untuk menerima ayam dari dalam pagar. Ayam yang telah diterima itu kemudian segera
dilepaskan. Cara lain ialah dengan memanggil Dukon baji atau seorang kyae, dimintakan pertolongannya. Biasanya kepada si ibu yang mengandung itu diberikan telor untuk jamu, setelah dimanterai. Kemudian perutnya dioles dengan minyak kelapa, sambil dibacakan doa atau mantra.
Patliye , ipar perempuan Patonah, sering kali keguguran, sehingga anaknya yang tertua sekarang adalah anak ketiga dalam keluarga itu. Kedua kali kematian anaknya karena bayinya meninggal sebelum cukup umurnya. Agar ia tidak keguguran lagi, maka di tempat tidurnya diletakkan batu pipisan, atau gandek sebagai pengganti bayi yang meninggal itu.
Dalam masyarakat Madura, upacara kehamilan yang paling penting adalah Pelet Kandhung, atau Pelet Betteng ini. Sedangkan untuk Nandai merupakan salah satu cara untuk mengingat usia kandungan.
‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: Upacara Tradisional daerah Jawa Timur.Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah Dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi Daerah 1983-1984, Surabaya September 1984, hlm. 28-38.