Antara huruf lam pertama dan kedua dipisahkan dengan jalan menuju mesjid Jamik Sumenep, apabila huruf Alif dipisah dan huruf lam pertama, kedua dan Ha’ disatukan maka menjadi huruf Allah (اللّهُ). Sedangkan alun-alunnya sendiri asal kata “allaun-aallaun”, menunjukkan tempat bersama segenap rakyat dan penguasa dipusat kota., yaitu Penguasa, Pegawai Negeri, Buruh, Pedagang, Cerdik Pandai (Cendikiawan) maupun para petani. Di alun-alun bagian selatan dan di sebelah utara ada pohon beringin atau waringin, asal kata dan bahasa Arab Wara’iin yang artinya orang yang sangat berhati-hati. Jadi orang yang berkumpul di alun-alun, harus berhati-hati memlihara dirinya dan menjaga segala undang-undang dan peraturan.
Antara Keraton dengan masjid terdapat hubungan makna filosofi dengan pusatnya alun-alun kota Sumenep, yang melambangkan Habblumminallah, Hablumminannnas dan Hablumminal Alamin, maksudnya dari alun-alun mengahdap kebarat (masjid) menandakan hubungan dengan Allah SWT, sedangkan alun-alun menghadap ketimur (keraton Sumenep) adalah hubungan dengan sesama manusia, sedangkan alun-alunnya sendiri adalah hubungan antara manusia dengan alam seisinya.
Orang-orang yang berkumpul di Alun-alun (di pusat kota), bilamana mengadakan Hablumminallab, Hablumminannas,dan Hablumminallaalamin, harus pelan-pelan dan berhati-hati. Mesjid jamik Sumenep dan sekelilingnya memakai pagar tembok dan pintu gerbang yang berbentuk Gapura, dimaksudkan agar para jamaah Iebih berhati-hati berkonsentrasi dalam melaksanakan shalat dan mendengarkan khotbah. Pintu mesjid jamik Sumenep berbentuk gapura asal kata dan bahasa Arab “Hafura” artinya masuk ketempat pengampunan Allah.
Di atas Gapura terdapat dua lubang terbuka (tidak tertutup) ini diibaratkan dua mata manusia yang sedang melihat. Lain diatas kedua lambang mata tersebut terdapat ukiran segilima memanjang keatas yang diibaratkan kepada manusia yang sedang duduk dengan rapi mengahadap ke arah barat (qiblat) namun dipisahkan oleh gambar pintu seperti pintu yang ada di bawahnya pintu masuk/keluar masjid, ini melambangkan bahwa apabila masuk kedalam masjid melakukan shalat jum’at harus memakai tatakrama dan harus melihat jangan sampai memisahkan kedua orang yang duduk bersama dan ketika imam keluar menuju Mimbar jangan sampai berjalan melangkahi leher seseorang
Di atas Gapura terdapat dua pintu kanan-kini yang diibaratkan kepada telinga manusia sedang ukiran segi lima memanjang keatas seperti tersebut diatas, duduk dengan rapi, tidak mengangkat kaki (ajurukkhong, Bhs. Madura), tidak boleh menoleh ke kanan dan ke kiri, tidak berbicara. lni melambangkan bahwa apabila khotbah dibacakan oleh khotib, harus mendengarkan tidak boleh berbicara dan tidak saling menegur untuk diam (sebab yang menegur itu sudah memberikan andil berbicara), serta tidak boleh duduk dengan mengangkat kaki (ajurukkong Bhs. Madura).
Sekeliling Gapura tersebut, diukir berbentuk rantai, ini melambangkan semua umat Islam harus bersatu, tidak boleh berpecah belah, dan menjadi satu di bawah bendera ukhuwah Islamiyah, sesuai dengan wasiatnya bahwa Mesjid itu diwakafkan kepàda umat Islam, yang menegakkan sholat di jalan Allah, bukan karena nafsu setan.
xx
Di dalam Masjid tersebut ditanami pohon sawo (Sabu Bhs. Madura) dan pohon tanjung. Menurut sejarahnya, semua Masjid atau Mushalla ditanami pohon sawo dan tanjung, yang melambangkan harapan dari pendirinya, yang mengandung maksud adalah:
- Sabu adalah menyatukan dari Sa dan Bu, yang artinya Sa adalah Shalat dan Bu adalah jha’ bu-ambu (jangan sampai berhenti)
- Tanjung (tanjhung) adalah penyatuan dan Tan dan Jhung, yang artinya Tan adalah Tandha (tanda), dan Jhung adalah (menjunjung)
- Masjid sendiri merupakan kegiatan agama Allah.
Apabila dijabarkan mengandung maksud dan harapan : “Shalat jha’ bu-ambu (jha ‘ ga-peggha’), tanda ajhungjhung tengghi Agama Allah. (Shalat lima waktu jangan ditinggalkan (jangan putus-putus), sebagai tanda menjunjung tinggi Agama Allah) –
Artikel bersambung: