Nilai yang Tersembunyi Di Balik Pengantin Madura

Rombongan pangèrèng saat menyerahkan bawaan

Di barisan paling akhir, biasa terdiri dari orang-orang yang ikut nimbrung mengiri pengantin, baik anak-anak ataupun orang tua, laki-laki atau perempuan, berjalan kaki atau naik sepeda, yang secara suka rela menjadi partisipan dalam rangka semakin memeriahkan tradisi pangantan tersebut. Suara teriakan dan tawa mereka bercampur baur dengan lantunan bunyi saronen. Kemeriahan ini ditambah dengan orang-orang yang meskipun tidak ikut mengiring, tapi sengaja ngambā’ (menunggu) di pinggir jalan yang menjadi jalur lintasan rombongan pangantan. Mereka berjibaku merebut tempat terdepan dengan penuh senyum dan tawa lebar yang sesekali melambai tagan pada pangantan yang melenggok di atas kuda sesuai iringan saronen.

Begitulah sekilas struktur komponen Pengantin Madura di masa silam, yang jelas sangat berbeda dengan pangantan masa sekarang yang sudah mulai kelam. Meskipun sama-sama pangantan jhārān (pengantin kuda), kelompok patampa dan pangèrèng sudah mulai tidak dipakai dan cukup hanya dengan sekelompok pengantin dan penabuh saronen. Itupun tidak tertata rapi seperti dahulu dan lebih mementingkan kualitas kuda dengan kenca’na yang apik dan kelompok musik saronen dengan dandanannya yang menor, dari pada adat kemaduraan yang dilandasi pertimbangan etis dan estetis.

Lebih jauh lagi, munculnya pangantan kowade (pengantin di atas pelaminan) semakin menambah runyam persoalan dan merusak beberapa tradisi yang sudah mengakar cukup lama. Saronen sudah tidak dipakai lagi dan diganti dengan orkes dangdut dan pagelaran seni tayub yang semakin tidak jelas moralitas keseniaanya. Tembang-tembang kasmaran, aratate dan senom yang biasa dilantukan oleh para pangèrèng pangantan, baik dari pihak laki-laki maupun perempuan, yang berisi falsafah dan ajaran hidup berumah tangga, diganti dengan jhung-kejhung murahan dan tembangan yang tidak jelas arahnya.

Ajang Adu Tembang

Iring-iringan pangantan lake’ dengan seluruh komponennya, akan berhenti tepat di depan labang saketeng (pintu gapura) tuan rumah, yang sudah dilengkapi dengan kelompok patampa dan pangereng dari pangantan bini’ sebagai penyambut. Kedua kelompok dengan masing-masing perangkatnya yang ada, akan menunggu proses serah terima yang  akan diwakili oleh para pangereng dari pangantan lake’ dan pangantan bini’.

Dituturkan oleh Ki Haji Masyhuri, sesepuh di desa Candi yang menjadi ketua pangereng beberapa tahun silam, bahwa “serah terima pangantan yang dilakukan oleh ketua pangereng dari pangantan lake’ dan pangantan bini’, harus menggunakan bahasa Madura tingkat tinggi, dengan sesekali diselingi paparèghān”. Serah terima diawali dengan salam pembuka dan kata pengantar sebelum masuk pada pembicaraan inti, yang kemudian ditutup dengan beberapa paparegan, sebelum mengucapkan salam pamungkas.

Diperlukan keahlian khusus untuk menjadi ketua pangereng yang bertanggung jawab sebagai pelaku serah terima pangantan, yang tidak hanya harus menguasi bahasa Madura tingkat tinggi, tetapi juga kemampuan mengolah kata menjadi narasi yang indah didengar. Intonasi yang digunakan harus ditata sedemikian rupa, agar tidak monoton, dengan dibarengi kelihaian dalam berimprovisasi. Tentu ini sangat berbeda dengan tradisi serah terima pangantan yang berlangsung dua dekade terakhir, yang sudah mulai formal, kaku dan keluar dari kearifan lokal, dengan menggunakan jasa kiai atau kiaji.

Usai serah terima, semua rombongan pangantan lake’ dipersilakan duduk di tempat masing-masing yang sudah disediakan. Di sinilah, para pangereng kembali melaksanakan tugasnya sebagai pelantun tembang, secara bergantian dari kelompok pangereng pangantan lake’ sebagai tamu, dan pangereng pangantan bini’ sebagai tuan rumah. Ki Haji Masyhuri, sesepuh yang masih setia mengelola kompolan mamaca di desa Candi dan sekitarnya,  mengisahkan bahwa “tembang yang dibaca adalah tembang kasmaran sebagai pembuka yang berisi ajaran cinta kepada Allah, kemudian dilanjutkan dengan kisah sepasang suami istri, Maljuna dan Andawiyah, yang dilantunkan dengan tembang senom.”  Saya kutip salah satu tembang senom, yang berupa ucapan Maljuna kepada istrinya, Andawiyah, sebagai berikut:

: Lamon binjang/yen palastro/ayak kirim kembang sulastri/kirimelah jeroning kembang/a kembang jeroning sari/batanlanna bantal se puti/kasuranna kasur sari/kuburanna ing tanah suci/roropanna sutra ungu/tangisanna tembang senom paricoto…

Secara umum, bila di-Indonesiakan kira-kira menjadi seperti ini:

: Bila nanti, tiba waktunya mati, jangan kau kirimi aku kembang melati, kirimilah kembang yang kau selipkan di gelungmu sehari-hari. Berikan jasadku bantal yang putih dan kasur yang harum, kuburkanlah pada tanah yang suci, dan bungkuslah (kafani) dengan sutra yang ungu, serta tangisilah dengan tembang senom paricoto…..

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.