Tokoh-tokoh di jagad sejarah hampir jarang memunculkan sosok-sosok dari kalangan perempuan. Meski memang tidak menafikan sama sekali adanya sosok-sosok dari kalangan hawa ini, jika diprosentasikan atau dibuat perbandingan dengan tokoh-tokoh pria, tentu hasilnya menunjukkan porsi kalangan hawa yang jauh lebih sedikit. Apakah ini semacam bias gender?
Di masa lampau, kedudukan perempuan, khususnya di masa jahiliyah atau pra kerasulan Muhammad SAW, dipastikan tak dilirik meski seperempat belah mata. Perempuan dianggap sebagai objek jajahan, dalam segala hal. Hingga Islam datang dan mengangkat martabat mereka setinggi-tingginya, dan semulia-mulianya. Sejajar dengan pria dalam hal hak dan kewajiban.
Meski peran perempuan besar, memang ada batasan tertentu yang diatur oleh norma agama dan budaya. Seperti kiprahnya di ruang publik. Meski dewasa ini sekat itu sudah setipis helaian rambut. Dulu hampir tidak dikenal pemimpin perempuan dalam sejarah Islam klasik, namun kini sebaliknya.
Tokoh-tokoh sejarah memang kebanyakan dari kalangan Adam. Namun ada juga yang nyata-nyatanya mengungkap peran perempuan di balik beberapa peristiwa besar sejarah. Peran utama sebagai isteri dan ibu jelas lebih utama di banding peran apapun.
Lihat contoh Imam asy-Syafi’i yang ditinggal ayahnya dan hanya berada di naungan kasih sayang sang ibu. Lihat Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, Sultonul Awliya’, yang juga besar dalam didikan tulus seorang ibu sahaja. Dan banyak juga kisah-kisah tokoh besar lainnya, seperti penguasa atau tokoh utama sejarah di sebuah zaman yang mencapai posisi gemilang sekaligus terpuruk hingga ke bawah lantai kekuasaan, karena sebab peran dan ulah tangan seorang isterinya.
Sosok ulama perempuan dimaksud adalah Nyai Selase, dan menjadi sebab besar yang membawa peradaban Madura khususnya, dan luar Madura pada umumnya: Nyai Cendana atau Ratu Cendana, atau sebutan sepadan lainnya yang bermakna Isteri Sunan Cendana, tokoh Ulama dan Waliyullah Agung di Madura Barat.