Tubuh dan Sistem Kekuasaan
Larangan pemerintah setempat bukan tanpa alasan. Selain masalah resiko fisik, seni tarung Ojhung pada prakteknya dihidupi oleh sebagian Masyarakat Madura yang hidup di daerah pedalaman dan terpencil, seperti Batuputih dan Batang-batang. Selain itu, perangai penduduk yang dinilai kasar sangat mendukung analisa pemerintah setempat untuk menyimpulkan bahwa Ojhung perlu “dikelola” pelaksanaannya agar lebih mudah dipantau. Setidaknya, jika Ojhung ditertibkan, ada kesadaran warga setempat untuk melaporkan kegiatannya, yang pada gilirannya mempermudah pemerintah setempat mengontrol langsung kelokasi dan mempersiapkan diri atas kemungkianan yang akan terjadi.
Perlakuan semacam ini tidak dialami oleh seni tarung lain yang berkembang di Madura, seperti Ghambhu dan Pencak Silat, yang memang lebih dekat dengan tradisi keraton. Lantas, jika Ojhung dianggap lebih banyak merugikan, mengapa Ojhung masih tetap eksis dan mengapa juga pemerintah setempat malah sibuk mendisiplinkannya dan bukan melarangnya? Mungkin saja jawabanya bisa sangat birokratis, yakni agar pemerintah setempat tidak dituduh menghilangkan tradisi lokal. Tapi, bisa juga jawabannya sangat politis, yakni pemerintah setempat membutuhkan “posisi aman” dalam mengendalikan masyarakat Batuputih yang terkenal “kasar”.
Seperti juga kecurigaan Michel Foucault atas sistem pendisiplinan masyarakat eropa yang diciptakan oleh penguasa. Lewat Discipline and Punish: The Birth of the Prison (1975 via Yustina Devi A: 2004), Foucault mempelajari perubahan bentuk metode menghukum yang menjadi basis dari teknologi politik tubuh dan bisa dibaca sebagai sebuah sejarah umum hubungan kekuasaan dengan tubuh sebagai objek.
Foucault memulai analisanya dari pemaknaan tubuh sejak jaman Yunani Kuno hingga abad pertengahan; Mulai dari penghargaan atas tubuh, sampai dengan diciptakannya penjara untuk mendisiplinkan tubuh. Dalam The Care of The Self: The History of Sexuality Volume 3, (1990), Foucault mencatat, ide bahwa seseorang sebaiknya menjaga dan mengembangkan diri sendiri, merupakan tema yang mewarnai kehidupan masyarakat Yunani Kuno. Pada masa itu, orang meyakini para dewa sebagai sumber segala kekuatan dan tentu saja segala aktivitas hidup mereka diorientasikan untuk memelihara hubungan baik dengan dewa. Konsekuensinya, tubuh merupakan salah satu alat manusia mengekspresikan kebaikan-kebaikan.