Pertandingan biasanya berlangsung tidak terlalu lama, beberapa detik kemudian sang wasit melerainya ketika bila posisi petarung dianggap sama-sama tidak bergerak, namun untuk kemudian sang wasit “mengadu” kembali sampai batas runde yang ditentukan.
Telah menjadi kelaziman bagi sebagian besar masyarakat Madura, setiap kali terjadi pertandingan atau pertarungan yang dilombakan, kadang tidak hanya mengandalkan kekuatan fisik saja tidak cukup. Karena dibalik itu peran “dhukon”, yaitu orang yang dianggap pintar turut serta mendorong dengan kekuatan supranaturalnya. Orang-orang macam itu mendorong petarung pilihannya menyambung kekuatan dengan cara samar, sehingga tidak heran ketika petarung memukul lawan yang dipastikan tepat sasaran ternyata meleset. Bahkan bisa jadi alat pemukul tiba-tiba patah. Atau ketika alat pukul beradu dengan tangkisan lawan kemudian mengeluarkan percikapan api. Maka tak heran di sekitar arena itu terasa bau minyan atau dupa.
Hal itu, bagi masyarakat Madura merupakan sesuatu yang wajar. Bukan hanya pada pertarungan ojhung, dalam permainan lainnya, yang merupakan pertandingan, seperti bal budi , sejenis tradiri Madura yang menggunakan bola kasti dan lainnya, termasuk juga pertnjukan loddrok misal, sejenis tonil yang semua pemainnya diperankan oleh laki-laki, hal berkaitan ilmu diluar permainan yang mengarah pada sihir kerap berlangsung. Dalam loddrok, apabila terjadi pertunjukan dengan waktu yang bersamaan dengan jarak yang tidak begitu jauh, maka tidak heran bila ternyata ditempat “musuh permainan” terjadi hujan, atau tiba-tiba angin besar datang, atau sound sustem tiba-tiba tidak berbunyi, atau bahkan ada pemain yang jatuh pingsan. Ini merupakan pola yang dibuat oleh kekuatan musuh yang sama-sama merebut penonton banyak. Atau alasan lain, yang menjadi rahasia mereka.
Namun dalam perkembangannya, kasus semacam ini jarang dan sudah tidak terjadi lagi, karena “dhukun-dhukun” macam itu sudah tidak difungsikan, karena barangkali dari kesadaran pendidikan dan pemahaman agama (Islam) mulai banyak dipahami.
Dalam arena pertarungan ojhung, tentu para penonton disekitar saling memberi dukungan dengan teriakan-teriakan. Teriakan-teriakan itu makin gemuruh ketika salah seorang lawan dikalahkan. Dalam kondisi semacam itu, tidak menutup kemungkinan terjadi ketersinggungan antar pendukung, dan bisa jadi pula dalam suatu kerumuman terjadi pertengkaran mulut sampai fisik. Dan saat itulah, sebagaimana banyak beberapa hal tentang tradisi Madura diungkap dalam blog ini, muncullah yang namanya carok, antara lain dilatari oleh ketersinggungan dan harga diri.