Ojhung: Kolaborasi Kesucian dan Kekeraan Masyarakat Batuputih
Oleh: Nur Imroatus S.
Bagaimana mungkin suatu makna kesucian dapat muncul dari tindakan kekerasan? Pertanyaan ini bisa dicarikan jawabannya melalui berbagai seni tarung yang ada di Indonesia. Mulai dari Pencak Silat sampai dengan tehnik pengolahan tenaga dalam hampir selalu diniati sekurang-kurangnya sebagai mekanisme pertahanan diri yang sarat dengan niat suci dan cinta damai.
Di Kecamatan Batuputih Madura, seni tarung yang menjadi ciri khasnya adalah Ojhung (Bouvier : 2002). Secara teknis, seni ini dilakukan oleh dua orang pemain yang ditengahi oleh seorang wasit. Masing-masing pemain memiliki senjata yang terbuat dari rotan yang dikepang dengan serat nanas sepanjang 110 cm yang disebut lapolo. Rotan tersebut kemudian diikat pada tangan yang dililitkan melalui jari manis dan jari tengah.
Pemain juga menggunakan pelindung kepala berbentuk kerucut yang terbuat dari karung goni yang disebut bukho’. Di dalam bukho’ dilengkapi dengan kerangka dari sabut buah kelapa dan di sampingnya dipakai sebilah kayu yang berfungsi membelokkan pukulan yang mengarah ke wajah.
Pemain juga membutuhkan banyak sarung. Sebuah sarung digulung sebagai sorban di bawah alat pelindung kepala; sarung lain dipakai untuk membalut sebagian tangan kiri hingga pergelangan yang berfungsi sebagai tangkes (menangkis); dan satu sarung lagi untuk dikenakan di pinggang. Tapi, pemain justru bertelanjang kaki dan dada.
Permainan ditengahi oleh wasit yang disebut bhubhoto. Permainan dianggap selesai apabila wasit telah menentukan siapa pemain yang terluka terlebih dahulu atau pemain yang tongkatnya jatuh lebih dahulu. Pada pertandingan tertentu, wasit berhak menghentikan pertandingan yang menurutnya telah diketahui siapa pemenangnya. Meskipun hal itu kadang dilakukan saat kedua pemain masih saling menyerang. Tidak heran, jika wasit juga mengalami luka-luka saat menengahi pertandingan dan tidak heran juga jika sebagian pendukung merasa kecewa dengan keputusan wasit.
thanks atas pingbacknya gan