Parengkas atau kerja cepat dan praktis dapat dipahamai ketika wanita Madura (tradisional) berbaju kebaya. Model kebaya simpel, dengan panjang setengah lengan, sedang kain (samper) dililit sebatas bawah lutut (betis). Hal ini menandakan agar dalam bergerak tengkas (leluasa dalam melangkah/bersijingkat).
Berkaitan dengan etos kerja, dalam falsafah Madura disebutkan, Sapa atane bakal atana’, Sapa adagang bakal adaging (Siapa rajin bertani akan menanak nasi. Siapa berdagang akan berdaging (tubuhnya padat dan sehat). Darisinilah tantangan yang harus dihadapi wanita Madura.
Dalam menjalankan kehidupan yang harmonis antar sesama merupakan penekanan yang paling fondamental, karena kebersamaan merupakan mutiara dalam merangkai kesinambungan hidup. Kehidupan bersama ini diwujudkan dalam bentuk Tanean Lanjhang, yaitu wujud pemukiman yang didalamnya terdapat nilai kearifan lokal yang tinggi, yaitu kebersamaan dengan perangkat etika dan estika yang kemudian menjadi hunian bermartabat (baca: Tanean Lanjeng Nilai Kekerabatan Masyarakat Madura)
Tentang Kehidupan sehari-hari juga tersirat dalam rampa’ naong beringin korong, (digambarkan suatu tempat berpayung dan teduh) serta ghu’tegghu’ sabbhu’ (pegangan sabuk: senasib sependeritaan) atau song-osong lombhung (gotong royong), kembhang sarombuk (musyawarah mufakat), rojhung pajhagha (kerjasama) merupakan solidaritas sosial antar warga. Nilai kebersamaan inilah yang menjadikan sesuatu yang berat dan mustahil dapat diselesaikan sesuai dengan keinginannya.
Dari kearifan lokal diatas sudah jelas, bahwa kebersamaan dalam segala hal merupakan satu bentuk yang tak terpisahkan, meski harus beratap panas dan dingin, meski dalam posisi duduk yang tidak mengenakkan dan berhimpitan, ketika bersama-sama naik mobil pick up, namun nilai kebersamaan menjadi tujuan dalam sebuah perjalanan untuk mencapai tujuan. (Syaf Anton Wr)