Iqbal Nurul Azhar
Orang Madura, memahami dunianya melalui apa-apa yang ada Odi sekitarnya. Salah satunya adalah melalui tumbuhan yang hidup di sekeliling mereka. Meskipun pulau Madura dianggap pulau yang gersang, namun itu tidak lantas meniadakan keberadaan pohon-pohon di pulau tersebut.
Orang Madura memahami bahwa pohon-pohon yang tumbuh di sekitar mereka dapat dijadikan sebagai guru simbolik dalam kehidupan. Sebuah pohon bisa tumbuh menjadi besar dan kuat diawali dari biji, yang kemudian tumbuh berakar kuat di tanah. hingga akhirnya tumbuh rindang serta lebat dengan cabang cabangnya. Pohon itu pada akhirnya menghasilkan buah yang manis.
Dari buah itu, maka muncullah tunas-tunas baru. Bila pohon itu. sehat, berbuah dan tumbuhnya proposional serta kokoh, pohon itu akan mampu bertahan terhadap penyakit, terpaan angin, hujan, dan berbagai ancaman yang datang dari luar. Ketika pohon itu tumbuh rindang, akan ada banyak makluk lain yang tinggal di sekeliling pohon itu.
Fakta itu kemudian dianalogikan oleh orang Madura sebagai fase kehidupan mereka. Orang Madura berasal dari keturunan (bibit) orang Madura. Ia kemudian tumbuh besar di sekitar lingkungannya bersama induk yang melahirkannya. Di lingkungan itulah, ia belajar banyak, menyerap pengetahuan yang diajarkan orang terdahulu tentang kehidupan.
Jika ia mampu melakukan semuanya, ia akan dapat tumbuh besar dan tangguh terhadap tantangan kehidupan. Jika ia semakin dewasa dan anid, akan banyak orang-orang lain yang akan merasa nyaman berada dalam pengawasannya. Ia pun kebak akan menikah dan melahirkan an anaknya, Anak-anaknya inilah yang kelak secara berkesinambungan mengantikan dirinya menghuni pubu Madura.
Salah satu pohon yang dikagumi Madura adalah bringin Ini disebabkan selain karena akarnya yang kuat menghujam ke tanah, daunnya yang lebat dan rindang mampu membuat siapa saja yang berada di bawahnya merasakan kesejukan. Tidak sabha kemudian para orang tua Madura membuat falsafah hidup “Rampak Naong Beringin Korong yang memiliki arti orang Madura itu harus seperti beringin, yang rindang dan teduh, yang dapat mengayomi siapa saja yang ada di sekitarnya.
Dahm cerita rakyat Madura, beberapa nama pohon sebain pohon beringin, disebutkan secara eksplisit di dalamnya. Nama-nama pohon seperti jati, pelle, nangger (randu alas) dan beberapa nama hinnya adalah nama tumbuhan, atau pepohonan yang sering disebut dalam cerita rakyat Madura. Pohon-pohon tersebut adalah pohon pohon yang khas dan mudah dijumpai keberadaannya di Madura
Jika kita konstruksikan peranan tumbuhan itu melalui cerita cerita rakyat yang mengisahkan tentangnya, kita dapat menjumpai bagaimana cara pandang Orang Madura memaknai keberadaan pohon di sekeliling mereka. Berikut ini adalah beberapa pandangan tentang pohon dan cerita rakyat yang mendukung keberadaan pandangan tersebut
Pohon Sumber Penolak Bala’
Kisah tentang pohon yang dapat menolak bali’ dapat dilihat pada sebuah legenda yang berjudul “asal usul Desa Panaongan. Legenda ini menggambarkan bagaimana sebuah pohon yang bernama pohon jati, melalui kacamata batin seorang raja, dianggap mampu mengusir aura negatif yang sedang ada di sebuah desa. Karenanya, nama desa itu pun kemudian diubah sesuai dengan ilham yang ia dapatkan ketika bersandar di sebuah pohon jati.
Dikisahkan bahwa dahulu kala di Sumenep, terdapatlah sebuah desa yang bernama Padangdangan Bara (Pedangdangan Barat). Desa ini sangat terkenal pada jaman itu karena di desa tersebut, terdapat pondok yang cukup besar (Pondok Padangdangan) yang dibuka okh Syekh Arif Abu Sa’id dari Yaman.
Pada waktu itu, Padangdangan Bara’ terkena musibah yaitu adanya penyakit menular berupa muntaber (konon ada yang menyebutnya sebagai Kolera). Akibatnya, banyak masyarakat menjadi sakit perut, muntah-muntah dan bahkan ada yang meninggal
Rata-rata warga yang ketakutan akan kematian yang disebabkan karena Muntaber kemudian menjadi paranoid dan gampang tersulut emosi. Pertengkaran antar wargapun kerap kali terjadi. Setiap kali pertengkaran dimulai, pasti ada salah satu dari warga yang meninggal Hal ini terjadi secara terus menerus.
Berita tentang penyakit Muntaber yang menyebabkan para warga Padangdangan Bara’ mengungsi, didengar oleh raja Sumenep pada waktu itu. la pun memutuskan untuk berkunjung ke Padangdangan dalam rangka mengamati situasi dan mencarikan solusi agar permasalahan itu segera teratasi.
Di Padangdangan Bara, ia kemudian berziarah ke Astah. (makam) Syekh Arif Abu Sa’id dalam rangka untuk meminta ijin memasuki daerah. Setelah dari astah, raja Sumenep kemudian berajahn-jalan melihat situasi sekitar. Kesimpulannya, penyakit itu. muncul di Padangdangan karena masyarakatnya kurang memperhatikan sanitasi dan tidak mehkukan gaya hidup yang sehat. Ada banyak sampah dimana-mana. Ada kotoran ternak di berbagai tempat
Setelah puas meninjau lokasi, ia kemudian memerintahkan seorang patih untuk menyusun rencana menyelesaikan masalah itu. la memberi target dua bulan, masalah itu harus dapat diselesaikan dengan baik. Ia pun kemudian kembali ke kota raja.
Dalam perjalanan menuju kota raja, yaitu tepatnya di sekitar pintu keluar desa, raja menjumpai ternyata beberapa pengiringnya masih tertinggal di desa. Rupanya para pengiringnya itu tertinggal karena langsung bekerja memetakan masalah setelah raja manitahkan sang patih untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan segera.
Raja pun kemudian memutuskan menunggu sebagian pengiringnya itu di bawah pohon jati yang rindang sambil mengamati desa. Dalam penungguannya di bawah pohon jati hu raja tertidur.
Selepas bangun dari tidurnya, tiba-tiba raja diberi penglihatan lebih tentang Padangdangan. Dalam penglihatannya, Padangdangan terlihat memiliki aura yang berbeda dibandingkan dengan desa desa lain. Aura desa itu dipenuhi aura negatif yang muncul karena sering terjadinya pertikaian antar para warganya. Padahal, di tempat yang la sedang beristirahat sekarang, ia merasakan ketenangan dan perasaan nyaman karena dinaungi pohon jati. Suatu hal yang kontras yaitu antara keteduhan berada di bawah pohon jati dan kegelapan yang menyelimuti desa karena aura negatif itu.
Di tempat itu, ia kemudian mengeluarkan maklumat untuk memgubah nama desa itu dari semula Padangdangan Bara’, menjadi Panaongan, yang diambil dari kata naong (naung/teduh), Sejak saat Itu, Padangdangan Bara’ berubah menjadi Panaongan.
Keajaiban terjadi. Setelah nama desa berubah, dan sedikit demi sedikit sang patih dapat merubah situasi desa menjadi lebih bersih. dan higienis, penyakit muntaber berangsur-angsur menjadi hilang. Rakyat Pun kembali menjadi sehat (Kisah selengkapnya dapat dilihat di buku yang ditulis Azhar, Iqbal Nurul & Hani’ah (2017b) dengan judul Arya dari Songennep: Antologi Cerita Rakyat Madura Edisl Kabupaten Sumenep. Yogyakarta: LKis).
Mantap tretan sangat informasi yang sangat bagus