Cerita di atas sangat inspiratif sehingga banyak masyarakat Madura percaya akan kemampuan pohon-pohon untuk menolak bala. Kepercayaan ini bertahan hingga sekarang. Di masa sekarang. banyak masyarakat Madura percaya bahwa tumbuhan bambu, seperti bambu kuning (sebutan ilmiahnya yaitu bambusa vulgaris) dapat menolak santet dan mengusir roh jahat yang akan mengganggu warga.
Pohon bambu tersebut pada umumnya dibuat orang menjadi pagar, selain mempunyai daun yang hijau mengkilat serta warna batang berwarna kuning beserta ruas yang nyaris sejajar, bambu tersebut pula mempunyai aura yang dipercaya orang Madura bisa menolak maling ataupun pencuri. Pada waktu musim ninja sekitar tahun 80-90an sebagai respons atas isu dukun santet, di Madura, bambu kuning sangat mudah di jumpai keberadaannya di gardu atau pos kamling. Bambu-bambu ini konon dipercaya dapat membuat apes para ninja yang tidak terlihat. Konon ada cerita, ada ninja yang menggunakan ilmu hitam dan dapat menghilang dari pandangan mata, dapat ditangkap karena terkena pukulan bambu kuning.
Selain bambu, pohon lain yang dipercaya dapat menolak hal hal yang berbahaya adalah pohon kelor. Yang dimaksud dengan pohon kelor disini adalah ranting dan daunnya. Batang kelor dipercaya masyarakat Madura dapat menetralisir teluh atau santet Beberapa kisah juga menceritakan bahwa konon, ada seorang pembegal yang tidak mempan ditembak polisi harus bertekuk lutut setelah tubuhnya terkena sabetan batang-ranting pohon kelor.
Pohon Penanda Tempat Membangun
Pohon juga digambarkan dapat memberi tahu kepada masyarakat di mana seharusnya masyarakat memulai pekerjaan. Beberapa jenis pohon dianggap memiliki tenaga batin yang baik yang dapat mempengaruhi lingkungan sekitarnya sehingga sangat baik untuk dijadikan sebagai titik tolak merencanakan dan membangun sesuatu. Kepercayaan masyarakat Madura kepada pohon sebagai penanda ini dapat dijumpai dalam cerita rakyat yang berjudul “Asal Usul Desa Banasare”
Dikisahkan bahwa Raden Agung Rawit berkeinginan untuk mencari tempat tinggal yang jauh dari keraton karena ingin mandiri. Di tempat baru itu, ia ingin bertirakat untuk memperkuat kemampuan batinnya. la kemudian bersemedi di kamarnya selama 21 hari untuk mencari petunjuk perihal tempat itu.
Pada hari kedua puluh, ia didatangi isyarat yang berupa suara gaib yang memintanya untuk melakukan perjalanan ke arah timur untuk mencari tempat yang memancarkan cahaya terang. Di tempat yang memancarkan cahaya terang itulah ia dapat tinggal dengan tenang dan bermartabat,
Raden Agung Rawit meninggalkan keraton sekitar jam tujuh malam. la pun berjalan ke timur sesuai petunjuk suara gaib itu. Kira-kira sekitar lima kilometer jauhnya, ia melihat cahaya yang terang dari timur, la pun berjalan menuju arah cahaya itu berasal
Tempat terang itu adalah sebuah lahan yang tumbuh di tengahnya sebuah pohon yang amat besar. Pohon itu ditumbuhi bunga-bunga sehingga daun dari pohon itu menjadi tidak terlihat karena tertutup bunga-bunga tadi. Di bawah pohon itu terdapat kolam yang berair jernih. Dengan perasaan lelah namun bahagia, ia pun memutuskan untuk mengisi sisa malamnya di tempat tersebut.
Selama ia beristirahat, ia sempatkan juga mengosongkan pikirannya dengan bersemedi mencari petunjuk kepastian tempat yang ia tuju, la menjadi yakin ketika membuka mata dan melihat ke arah timur. Sepanjang arah pandangannya di sebelah timur, ia tidak melihat cahaya lagi. Ini menandakan bahwa cahaya yang la lihat sebelumnya adalah cahaya dari tempat tersebut.
Keyakinannya makin kuat ketika pagi menyapanya kembali. Tempat itu begitu tenang dan dipenuhi suara kicau burung yang begitu merdu dan menyejukkan hati. Ia pun memutuskan di tempat itulah ia akan tinggal
Bersama dengan para pengiringnya, ia membersihkan tempat itu dan mendirikan pemukiman. Semakin lama pemukiman itu semakin besar karena banyak mengundang orang luar untuk tinggal di daerah itu. Raden Agung Rawit pun menamai daerah itu dengan nama Wono Sari, yang berarti bunga di tengah hutan, yang kemudian lidah orang madura menyebutnya sebagai Banasare, Banasare ini kemudian hingga sekarang menjadi nama desa yang ada di Kabupaten Sumenep (Kisah selengkapnya dapat dilihat di buku yang ditulis Azhar, Iqbal Nurul & Hani’ah (2017b) dengan judul Arya dari Songennep: Antologi Cerita Rakyat Madura Edisi Kabupaten Sumenep, Yogyakarta: LKIS).
Kepercayaan bahwa membangun atau memulai usaha pembangunan dapat dipengaruhi oleh pohon-pohon yang ada di sekitarnya seperti yang ada pada cerita di atas, masih ada hingga sekarang. Meskipun tidak banyak, beberapa masyarakat Madura percaya bahwa pohon yang ada di sekitar mereka dapat menjadi ilham, atau tanda, atau patokan, dari arah mana mereka harus membangun..
Masyarakat Madura yang percaya akan hal ini seringkali mempertimbangkan untuk membangun atau tidak membangun sesuatu di sekitar sebuah pohon. Mereka akan berusaha untuk tidak membangun rumah di sekitar pepohonan yang dianggap keramat seperti beringin tua, sawo besar, dan pepohonan keramat lainnya untuk menghindari dari seringnya bersinggungan dengan hal-hal mistis. Mereka baru akan membangun di tempat itu, jika ada petunjuk dari seseorang yang mereka anggap “paham” akan dunia kebatinan.
Pohon oleh beberapa masyarakat Madura dapat digunakan untuk menyeimbangkan tempat atau bentuk gedung yang terlihat janggal. Jika gedung berbentuk L. pohon dapat melambangkan bentuk persegi dari struktur tersebut. Dengan demikian keadaan gedung menjadi seimbang. Pohon juga membawa keselarasan pada suatu lahan yang terlalu luas untuk sebuah rumah. Pohon jika ditempatkan dengan tidak semestinya, seperti di depan pintu atau jendela, akan dapat dianggap merugikan karena hal tersebut dapat mencegah aliran rejeki masuk.
Pohon Penghubung Alam Gaib
Dunia gaib bukanlah dunia yang asing bagi masyarakat Madura. Ini disebabkan karena sebelum agama-agama masuk ke Madura, masyarakat Madura telah hidup dalam kepercayaan terhadap animisme dan dinamisme yang kental Kepercayaan ini telah lama dianut, hingga ketika agama-agama masuk ke Madura, sisa-sisa kepercayaan ini masih terlihat meskipun poh-polanya telah jauh berbeda.
Sebagian besar masyarakat Madura percaya pada hal gaib. Mereka berasumsi bahwa pada dasarnya, mereka hidup tidak sendiri namun ditemani makhluk-makhluk ciptaan Tuhan lainnya yang tidak kasat mata. Makhluk-makhluk inilah yang disebut dengan makhluk gaib,
Sebagian besar masyarakat Madura (utamanya yang tinggal di pedesaan) juga percaya bahwa makhluk gaib ini tinggal di dunia yang berbeda dengan mereka. Keduanya tidak akan pernah bersinggungan karena karakter hidup mereka berbeda. Namun dalam situasi tertentu, hal-hal yang berhubungan dengan dunia gaib bisa saja muncul di dekat masyarakat jika mereka entah secara sengaja ataupun tidak bersinggungan, atau memasuki sebuah area yang merupakan pintu masuk/portal menuju dunia gaib,
Sebagian besar masyarakat Madura percaya bahwa portal ke dunia gaib itu ada di sekitar mereka. Mereka menyebut area portal ini sebagai “kennengngan berrit” sebuah tempat yang jika masyarakat Madura secara sengaja maupun tidak sengaja masuk ke tempat itu dan tidak menunjukkan perasaan hormat, maka mereka akan “kennéng berrit,” seperti kerasukan, sakit yang mendadak, menghilang dan tidak dijumpai lagi jasadnya, atau bahkan mendapatkan kematian.
Salah satu portal yang diyakini dapat menghubungkan masyarakat Madura ke alam gaib adalah pohon Nanggher, utamanya pohon nanggher (randu alas) yang telah berusia tua. Ciri-ciri lainnya adalah, pohonnya besar, biasanya di sekitar pohon itu, terdapat mata air atau kuburan-kuburan kuno. Jika menjumpai pohon Nanggher yang demikian, masyarakat Madura akan sangat hati-hati bersikap untuk bersikap. Mereka pastinya “ta’ terro égangguwah” (tidak ingin diganggu) oleh para penghuninya.
Mantap tretan sangat informasi yang sangat bagus