Haji bagi masyarakat Madura melambangkan vitalitas yang sinkronis-diakronis antara Islam dan kultur lokal. Ungkapan Ka’ Towan dan Bhu’ Towan bagi orang yang naik haji dalam tradisi Madura masa lalu menunjukkan proses sinkronisasi tersebut. Dalam leksikon Madura, Towan dinisbahkan bagi individu yang tercampur dalam dirinya darah keturunan Arab.
Secara kultural, Towan (Indo-Arab) menjadi sebuah penanda simbolisasi sakralitas akan tanah Arab yang dianggap suci. Dengan demikian, tanah Arab dianggap bukan saja sebuah poros spiritual, lebih daripada itu ia merupakan magnet kultural yang dapat direferensi secara tematik.
Para haji dianggap memiliki kedudukan kultur sejajar dengan towan Arab yang memiliki tempat tersendiri dalam harmoni masyarakat Madura. Historiografi haji Madura masa lalu pun memperkuat hal ini. Posisi para haji yang demikian penting terkadang mengundang pemerintah Belanda untuk mengawasi para haji yang baru pulang dari tanah suci.
Politik spionase ini dipicu teori politik Snouck Hurgronje tentang hubungan antara ibadah haji dengan Pan Islamisme. Para haji nusantara termasuk Madura sendiri disinyalir terpengaruh oleh ide ini. Pan Islamisme, nasionalisme, transformasi keilmuan Islam serta tentunya penyebaran bahasa Melayu menjadi sisi penting dari ibadah haji (M.V. Bruinessen:1990).
Pemerintah Hindia Belanda sendiri menyebut bahwa kaum haji di Madura pada awal-awal abad 20 telah mencapai 4 orang per seribu penduduk. Para haji tersebut juga menjadi transformer ideologi Islam antikolonialisme.