Pengaruh ideologi Islam dari luar inilah konon yang mengilhami pemberontakan Kiai Semantri dari Prajan Sampang pada tahun 1895. Disinyalir, Kiai Semantri mendapatkan ilham untuk melawan Belanda setelah dikader seorang haji alumni Makkah (Kuntowijoyo:1988). Naik haji di masa lalu sangat sulit. Selain keterbatasan finansial karena harus membeli tiket pergi pulang (retourbiljetten) yang mahal, transportasi juga menjadi problem sendiri.
Para zaman sebelum tahun 1922, embarkasi haji (Pelgrimshaven) hanya terdapat di Batavia dan Padang. Dapat dibayangkan, bahwa para jamaah haji Madura saat itu harus pergi terlebih dulu ke Batavia baru kemudian naik kapal laut menuju Jeddah. Apalagi, biaya haji saat itu sangatlah mahal yang berkisar antara 570 sampai 856 gulden pada awal abad 20.
Sulitnya transportasi di masa lalu itu, juga menyebabkan para haji biasanya berperan ganda. Selain beribadah, tak jarang para haji juga menuntut ilmu di Tanah Suci guna menunggu kapal pengangkut yang akan datang kemudian. Para calon haji biasanya datang pada bulan puasa agar bisa berpuasa di Haramain. Selama di kota suci ini, mereka berbaur dengan sesama jamaah haji Nusantara dan dunia serta mendalami ilmu agama dan tarekat dari para ulama nusantara yang ada.
Ibadah haji telah membentuk semacam jaringan mukimin Jawi (sebutan bangsa Arab terhadap orang Nusantara). Salah satu dari sub jaringan itu adalah Jaringan Al Manduri, yaitu para mukimin dan ulama keturunan Madura di kota Makkah dan Madinah. Aboe Bakar Djajadiningrat, drogman konsulat Belanda di Jeddah menyebutkan bahwa pemukim Madura pada tahun 1913 saja telah mencapai 140 orang. Mereka tersebar di berbagai pusat studi Islam yang ada di Haramain.