Para haji Madura biasanya menambahi ijazah dan ilmu tarekatnya dari para mursyid internasional yang ada di Makkah setelah sebelumnya berbaiat pada mursyid atau khalifah tarekat lokal. Di Jawa Timur sendiri, Tarekat Qadiriyah Wa Naqshabandiyah dan Naqshabandi banyak disebarkan oleh orang-orang Madura yang mendapat ijazah emas Syekh Ahmad Khatib Sambas dan Syekh Saleh Al Zawawi.
Tidak hanya itu, ibadah haji juga ikut menyebarkan bahasa Indonesia di antara para jamaah haji yang beraneka ragam etnisnya (M.V.Bruinessen:1990). Domisili yang lama di Makkah melahirkan interaksi komunikatif antar jamaah haji nusantara. Bukan tidak mungkin kalau haji Madura juga mengalami transformasi bahasa Melayu ini.
Ibadah haji secara langsung ikut memasyarakatkan bahasa Melayu diantara bangsa Indonesia termasuk Madura. Laporan Snouck Hurgronje awal abad akhir abad 19 juga menyebutkan betapa dahsyatnya perbincangan tentang perang Aceh di antara masyarakat Nusantara di Makkah. Bagi komunitas Madura sendiri, perang Aceh memiliki nilai tersendiri.
Pasalnya, banyak serdadu Belanda dalam perang Aceh merupakan orang Madura yang tergabung dalam milisi Barisan bersama Korps Marsose lain yang berasal dari Jawa, Menado dan juga Ambon. Militer “Belanda hitam” inipun disebut kaphee (kafir) oleh orang Aceh.