[junkie-alert style=”green”]
Misteri Ilahi sedikitnya terbagi dalam tiga hal. Kelahiran, jodoh, dan kematian. Jodoh memiliki beberapa rangkaian, termasuk di dalamnya pernikahan. Karena itulah pernikahan begitu sakral, terutama bagi masyarakat Madura. Tangga menuju prosesi ini memiliki banyak tahapan. Semuanya diatur dalam pernak-pernik yang kompleks, hingga pada tata rias sekaligus busana pengantinnya.
Kendati diatur dan memiliki pakem, tradisi Madura yang berkaitan dengan tata rias dan busana pengantin ini sudah banyak ditinggal. Nasib tradisi ini hampir tidak jauh beda dengan budaya Madura lainnya. Tercecer dan sebagian besar terkubur dalam reruntuhan berbagai jenis jaman. Beberapa pihak mulai berupaya memungutnya, seperti yang dilakukan TP-PKK Sumenep beberapa waktu lalu. [/junkie-alert]
Akar Sejarah
Ketika mencermati budaya Madura, maka acuan utamanya ialah sejarah. Tanpa melihat sejarah, maka akan sulit mencari akar budaya tertentu. Sementara sumber sejarah beragam, baik sumber lisan maupun sumber tertulis yang bisa dipertanggung jawabkan.
Ketika bicara pernikahan di Madura, maka seperti seperti melewati sebuah rangkaian panjang yang cukup melelahkan. Dimulai dari pra pertunangan yang memiliki beberapa tingkatan seperti ngin-angin, arabhas pagar, dan nyaba’ jajan. Sebuah ritual panjang yang sarat makna. Namun yang terpenting pesan yang dikandung di dalamnya; yaitu begitu memuliakan kaum perempuan. Ya, meminang perempuan di Madura tidak serampangan.
Kembali pada sejarah, sejatinya kiblat budaya sekaligus pemerintahan Madura kuna terletak di Sumenep. Hal itu tersirat pada sebuah prasasti kuna di pintu Agung keraton Sumenep dalam bahasa Arab dan Madura kuna, yaitu Brahmono Hasmoro Hung Putri Hayu—yang berarti Brahmono = 6; Hasmoro = 8; Hung = 9; Putri = 1; dan Ayu = 1. Maknanya, susunan struktur susunan pemerintahan di Sumenep sudah ada sejak 1 Januari 986 Masehi.
Apalagi, Sumenep juga merupakan kabupaten tertua berdasar penetapan tanggal hari jadi di empat kabupaten di Madura. Berdiri pada dekade keenam di kurun 1200-an Masehi menunjukkan kota kecil ini bahkan lebih tua dari kerajaan Majapahit. Sehingga dengan kata lain, Sumenep merupakan pusat pemerintahan di dua masa kerajaan besar Nusantara; Singhasari dan Majapahit.
Nah, dari uraian ini didapat fakta bahwa kebudayaan berkembang dari Sumenep dan kemudian menyebar ke seluruh pelosok di Madura, mulai dari Pamekasan, Sampang hingga Bangkalan. Namun, karena sejak mula Sumenep berada di bawah pemerintahan raja-raja di tanah Jawa, maka kebudayaan di Madura pada umumnya merupakan hasil pembauran dengan kebudayaan lokal. Pengaruh pembauran ini terus berkembang, seiiring dengan masuknya beberapa budaya luar. Seperti pengaruh Islam, budaya Arab, Cina, dan Eropa.
Dalam hal pembauran dengan Jawa, hal ini bisa dilihat dari tradisi sebelum prosesi perkawinan, yaitu sehari atau malam sebelum hari pernikahan. Tradisi ini hampir sama dengan di Jawa Tengah, hanya istilahnya saja yang beda. Tradisi yang di sana dikenal dengan istilah midodareni, di mana sang mempelai perempuan mengenakan busana bahasan seperti kemben. Dengan busana ini mempelai perempuan melewati serangkaian perawatan tubuh, seperti dilulur (elolor dalam bahasa Madura) dan rambutnya diasapi dupa yang wangi. Kemudian dilanjutkan sapuan bedak kamoridan, yaitu bedak bida yang sarat khasiat. Kemudian yang terakhir ialah meminum jamu khusus yang diyakini mampu membuat tubuh menjadi harum.
Tak ayal lagi, keberadaan tata rias pengantin di Madura ini tak hanya memiliki nilai estika maupun filosofi positif. Tata rias pengantin atau paes di Madura ini juga mampu menampilkan sisi beda dari kedua mempelai; yakni mempelai perempuan terlihat menjadi lebih cantik juga anggun, dan yang pria terlihat lebih tampan serta gagah.