Panembahan Ronggo Sukowati dikenal sebaqai pembangun Kota Pamekasan. Saat ini makamnya banyak dikunjungi peziarah, teratoma mereka yang sedang berburu jabatan.
Membicarakan sejarah Pamekasan, tentu tak bisa dilepaskan dari riwayat Panembahan Ronggo Sukowati. Raja inilah yang membuat nama Pamekasan dikenal kemudian hari menyu- sul kebijakannya waktu itu. Yaitu keberhasilannya membuat perubahan pada pemerintahan dan melakukan pembangunan di wilayah kekuasaannya. Salah satu perubahan yang paling fundamental adalah di- pindahkannya pusat pemerintahan dari dari Kraton Labangan Daja ke Kraton Mandilaras.
Panembahan Ronggo Sukowati juga disebut-sebut sebagai raja pertama di Pamekasan yang secara te- rang-terangan mengembangkan Aga-ma Islam di kraton dan rakyatnya. Jalan Sejimat di Alun-Alun Kota dan Masjid Jamik Pamekasan yang konon didirikannya menjadi bukti.
Sayang, pada beberapa situs pen- inggalannya sampai saat ini belum ditemukan adanya inskripsi atau prasasti yang bisa menjelaskan ke- pastian waktu dia memerintah Pamekasan. Para ahli hanya memerkira- kan, Ronggo Sukowati memerintah Pamekasan sekitar paruh kedua abad XVI, ketika pengaruh Mataram mulai masuk Madura.
Riwayat Ronggo Sukowati lebih banyak dikenal lewat legenda mau- pun cerita-cerita tutur tentang kehe- batannya. Dia disebut berkuasa di Pamekasan menggantikan ayahnya, Bonorogo alias Pangeran Nugeroho. Saat Ronggo Sukawati mulai meme- gang kekuasaan, wilayah Pamekasan masih terbagi dalam beberapa kera- jaan kecil. Misalnya, wilayah Blim- bingan diperintah oleh Pangerah Nu- goro, adiknya, dan daerah Jamburi- ngin diperintah Pangeran Suhra dari keturunan Palakaran, Arosbaya.
Suatu hari, saat baru dilantik menjadi raja, dia mendapatkan per- sembahan satu landian keris dari seseorang. Hari berikutnya, dia memeroleh hadiah sebuah rangka keris dari tamu yang berbeda. Beberapa hari kemudian, datang pula orang lain membawakan untuknya isi keris. Setelah dibawa ke seorang mpu, ternyata landian, rangka, dan isi keris itu cocok satu sama lain.
Keris tersebut kemudian dia beri nama Jokopiturun, yang kelak kemudian hari menewaskan Panembahan Lemah Duwur dari Arosbaya. Kejadi- an ini bermula saat Panembahan Lemah Duwur berkunjung ke Pame- kasan untuk bersilahturahmi. Sambutan ramah Ronggo Sukowati dibarengi dengan acara menangkap ikan tamunya di Rawa Si Ko’ol.
Para pengiring Panembahan Lemah Duwur turun ke rawa untuk menangkap ikan dengan bertelan- jang dada. Demikian pula dengan para pengawal Ronggo Sukowati, diperintahkan terjun ke rawa untuk membantu. Namun berbeda dengan para pengiring Lemah Duwur, pengawal-pengawal Ronggo Sukowati tidak membuka pakainnya sama sekali. Mungkin karena hal ini, tiba- tiba Panembahan Lemah Duwur tanpa minta diri langsung pulang ke Arosbaya diiringi menteri-menterinya.
Melihat ada yang tidak beres, Penembahan Ronggo Sukowati pun mengejarnya. Sampai di Sampang, dia mendapat penjelasan dari saudaranya, Adipati Sampang. Bahwa Panembahan Lemah Duwur sempat berhenti dan bersandar di sebuah pohon di Desa Larangan. Seketika itu, Ronggo Sukowati menghunus keris Jokopiturun, menusukkannya di pohon tersebut, dan kembali ke Pamekasan.
Selang beberapa hari, dia mendapat surat dari istri Panembahan Lemah Duwur yang mengabarkan bahwa sang suami telah meninggal dunia akibat bisul besar di pinggangnya. Mengetahui berita ini, Ronggo Sukowati marah pada dirinya dan membuang keris Jokopiturun di Rawa Si Ko’ol. Tiba-tiba, begitu keris itu jatuh ke rawa, terdengar suara; “umpama keris Jokopiturun tidak dibuang, Jawa dan Madura hanya selebar daun kelor”.
Demi mendengar suara itu, Ronggo Sukowati sangat menyesal, dan memerintahkan pengawal-pengawal- nya mencari Jokopiturun. Tapi sayang, keris itu tidak dapat ditemukannya lagi.