Jelaslah, peran VOC yang memiliki keunggulan strategi perang (menurut Ricklefs, teknologi persenjataan antara VOC dan tentara Jawa tidak terlalu berbeda) sangat penting. Ketiga pihak yang bertikai – susuhunan, putera mahkota dan Trunajaya – semuanya mengirim utusan ke VOC, minta bantuan. Akhirnya, Gubernur Jendral VOC Joan Metsuycker memilih untuk membantu Amangkurat I. Padahal, hampir seluruh wilayah pesisir sudah jatuh ke tangan Trunajaya. Pemberontakan anti-Amangkurat pun melebar ke kawasan pedalaman Jawa.
Pada 20 Januari 1677, komandan tentara VOC, Admiral Cornelis Janszoon Speelman, mendarat di Jepara, yang dikuasai Kyai Angabehi Wangsadipa, yang pro-Amangkurat I. Speelman memimpin pasukan gabungan berkekuatan 1.500 personel. Ia mendirikan benteng di bukit Danareja, yang reruntuhannya masih bisa disaksikan sampai kini. Meski sudah siaga satu, Speelman masih mencoba menawarkan perdamaian kepada Trunajaya. Ia meminta agar Trunajaya datang secara pribadi ke benteng. Trunajaya tersinggung dan menolak undangan itu – maklum ia kini raja. VOC cenderung meremehkan Trunajaya yang dikenal sebagai pemabuk berat itu.
Maka, pada akhir Februari VOC meneken persekutuan dengan Wangsadipa yang bertindak atas nama Susuhunan. VOC berjanji melindungi Susuhunan dari semua musuh yang tidak terikat perjanjian damai dengan VOC. Sebagai imbalannya, VOC akan dibebaskan dari pajak lalu lintas barang. Bebas mengimpor dan mengekspor komoditas apapun. Bebas mendirikan pos dagang di manapun, termasuk diberi keleluasaan menggunakan kayu dan tenaga kerja manusia Mataram sebanyak yang dibutuhkan. Sebaliknya Mataram dilarang mengadakan hubungan dan perjanjian dagang dengan pihak Makasar, Melayu dan Moor (kaum Muslim non-Indonesia).
Dan itu belum semua. Pasal 8 perjanjian itu menyebut, Susuhunan harus menjual beras kualitas prima sebanyak 6.400 ton per tahun kepada VOC, yang dibayar dengan harga pasar. Pasal 13 bahkan menyatkan, dalam waktu tiga tahun ke depan, Susuhunan harus membayar tunai sebesar Sp.RI 250.000 (Sp.RI adalah mata uang real Spanyol yang dipakai sebagai alat tukar di Jawa saat itu) plus beras sebanyak 5.000 ton. Bahkan bila perang berlangsung sampai melewati akhir Juli 1677, Amangkurat I harus membayar ongkos tambahan sebesar Sp.RI 20.000 per bulan. Itu belum termasuk biaya operasi benteng di Danareja, yang harus ditanggung sepenuhnya oleh Susuhunan.