Padahal, kekayaan Amangkurat I menurut taksiran pada 1677, cuma berkisar antara Sp.RI 300.000 – 350.000, dengan kata lain, bila perang berakhir pada bulan Juli 1677 pun – yang ternyata tak usai secepat itu – imbalan yang harus dibayar kepada VOC akan meludaskan seluruh kekayaan Mataram. Jadi, siapa pun raja Mataram sesudah Amangkurat I, cuma mewarisi rongsokan negeri dengan utang tak terbilang.
Speelman ternyata tak cukup puas dengan jaminan Wangsadipa. Ia mengirim Jacob Couper, pegawai VOC keturunan Skotlandia yang fasih berbahasa Jawa, untuk langsung menghadap Amangkurat I guna mendapatkan ratifikasi perjanjian itu. Pada 24 Maret 1677, Couper kembali dengan ratifikasi yang distempel oleh sang putera mahkota – karena Amangkurat I ternyata gering dan tak lagi sanggup menjalankan roda pemerintahan. Anak-anaknya yang saling bersaing, kini terbuka memperebutkan kekuasaan. Kepada Couper mereka mengaku kas kerajaann kosong melompong. Dana yang tersedia sudah dipakai untuk menyogok pada bupati dan bangsawan di daerah agar tetap setia kepada Mataram.
Toh, Speelman – yang memang dikenal sebagai jendral ambisius – tetap melancarkan operasi militer atas posisi-posisi Trunajaya. Pada April 1677, ia berlayar ke Surabaya, pusat kekuasaan Trunajaya. Pada 4-5 Mei 1677, pasukan VOC mendarat dan tak lama kemudian menguasai tempat suci Ampel, nyaris tanpa perlawanan. Dua pekan kemudian, tanggal 12-13 Mei, benteng Trunajaya jatuh ke tangan VOC.