Hari-hari Terakhir Amangkurat I
Ketika Speelman bergerak ke timur, Trunajaya justru menyerang Keraton Mataram yang nyaris kosong tanpa pengawalan. Pasukan gabungan Jawa-Madura menaklukkan keraton yang sudah hilang kejayaannya itu tanpa perlawanan berarti. Seluruh kekayaan Mataram, kecuali meriam-meriam berat yang tak bisa diangkut dan perempuan-perempuan tua, dijarah dan diboyong ke Kediri.
Amangkurat yang gering lari ke Jepara ditemani putera mahkota dan adiknya, Pangeran Adipati Mataram. Upaya merebut kembali keraton diserahkan kepada Pangeran Puger dan dua orang adiknya. Mereka meninggalkan istana saat lewat tengah malam, melintasi kota yang terbakar membara. Di Karanganyar, rombongan raja dirampok oleh warga desa yang tak tahu identitasnya mantan junjungan mereka tersebut. Mulanya, Susuhunan bersedia menyerahkan emas dan uang yang dibawanya, tapi mengutuk rakyat yang tak tahu tata krama itu.
Sebuah versi lain menyebut, Amangkurat I yang bergelar Sayidin Panatagama itu insyaf bahwa saat-saat akhirnya telah tiba. Ia rela lengser keprabon, meski dengan terpaksa. Ia menyerahkan pusaka keraton – lambang suksesi tahta Mataram – kepada putera mahkota, yang dulu tak disukainya, tapi kini menjadi satu-satunya orang tempat ia bersandar. Susuhunan juga berpesan agar putera mahkota bekerjasama dengan VOC merebut kembali kekuasaan kerajaan.
Susuhunan kemudian memerintahkan para abdi untuk menyiapkan makam baginya di Tegalwangi, tak jauh dari kota Tegal kini. Raja yang semasa jayanya pernah tanpa memicingkan mata memerintahkan pembunuhan atas seribu ulama yang dicurigai menggalang aliansi menentangnya itu, disembahyangkan lantas dibawa ke Tegal. Pada tanggal 13 Juli 1677, Amangkurat I dikebumikan di Tegalwangi. Tiga belas sedadu VOC menghadiri pemakamnya.